MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Friday 29 October 2010

Siapa yang Telah Dikorbankan?

Siapa yang Telah Dikorbankan?
Masalah lain yang harus kita catat adalah, tokoh manusia yang ada dalam Yesus tidak dihukum, dan tidak pula dia harus dihukum berdasarkan logika apa pun, sebab dia tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk memikul beban dosa umat manusia. Unsur baru ini, yang masuk dalam perdebatan kita, menggiring kita ke dalam suatu situasi sangat janggal yang tidak kita sadari sebelumnya. Orang terpaksa merasa heran mengenai hubungan tokoh manusia dalam Yesus dengan warisan kecenderungan melakukan dosa, yang berlaku umum bagi seluruh anak keturunan Adam dan Hawa. Paling tidak, seseorang dapat mempercayai bahwa dalam dualisme Tuhan Anak dan tokoh manusia yang menduduki satu tubuh yang sama, hanya Tuhan Anaklah yang suci dari dosa. Namun, bagaimana pula tokoh manusia sekandungan yang hidup dengannya? Apakah dia juga dilahirkan dengan gen dan sifat yang disediakan oleh Tuhan? Jika ya, maka dia harus bersikap- seperti tokoh Tuhan dalam Yesus dan tidak ada alasan yang dapat diterima jika dia lalai dalam berbagai hal, dengan dalih bahwa dia melakukan hal itu sebab dia seorang manusia. Jika tidak ada unsur Tulan dalam dirinya, yakni dalam tokoh manusia pada Yesus, maka kita harus mengakui bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa [bahkan] mungkin separuh manusia. Selain itu, tokoh manusia tersebut yang telah menyatu dalam Yesus, harus tampil sebagai manusia yang mewarisi kecenderungan terhadap dosa. Jika tidak, apa sebabnya?
Jelaslah, tidak ada untungnya mengatakan bahwa sebagai manusia yang secara nyata terpisah dari pasangan Tuhannya, dia tentu telah melakukan dosa secara terpisah dengan seluruh tanggung jawab akan dosa di atas pundaknya sebagai manusia. Skenario ini tidak akan sempurna tanpa memaparkan Yesus Tuhan Anak mengalami kematian; cukup mementingkan diri sendiri tampaknya demi umat manusia tetapi yang menjadi pertimbangan utamanya mungkin demi saudaranya yang separuh itu, yakni tokoh manusia yang ada dalam dirinya.
Semua ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk mencernanya secara intelek. Namun, sudut pandang kami tidak menampilkan masalah-masalah seperti itu. Adalah Yesus tokoh manusia yang tidak berdosa di situ — tanpa dualisme dalam dirinya — yang telah melontarkan rintihan keheranan dan penderitaan tersebut.
Dilema yang Dihadapi Yesus
Sekali lagi saya perjelas bahwa bukannya saya tidak percaya kepada Yesus, justru saya memiliki rasa hormat yang mendalam terhadapnya sebagai seorang utusan Tuhan dengan pengorbananpengorbanan yang luar biasa. Saya memahami Yesus sebagai orang suci yang menjalani suatu masa cobaan berat. Namun beriringan dengan mulai terbukanya pengisahan peristiwa penyaliban dan semakin mendekati saat akhirnya, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali mempercayai bahwa Yesus tidak mempersembahkan dirinya dengan sukarela untuk menghadapi kematian di tiang salib. Pada malam sebelum musuh-musuhnya bermaksud membunuh beliau melalui penyaliban, kita mendengar bahwa beliau berdoa sepanjang malam, didampingi seluruh muridnya, sebab kebenaran pendawa'an beliau sedang dipertaruhkan. Telah dikatakan dalam Perjanjian Lama bahwa seorang pendusta yang mengaitkan hal-hal tertentu terhadap Tuhan yang Dia sendiri tidak pernah mengatakannya, akan digantung di sebuah tiang dan dengan itu menjalani kematian yang terkutuk:
Namun seorang nabi yang menganggap dirinya mengucapkan atas nama-Ku sesuatu yang tidak pemah Aku perintahkan kepadanya untuk diucapkan, atau seorang nabi yang berbicara atas nama tuhan-tuhan lain, harus dihukum mati. (lihat Ulangan 18:20).
"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kau gantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau mengubur dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. (Ulangan 21:22,23).
Yesus mengetahui, jika hal ini terjadi, orang-orang Yahudi akan merayakannya dengan gembira dan menyatakan dirinya seorang pendusta yang kepalsuannya telah terbukti secara jelas berdasarkan kitab-kitab samawi. Inilah sebabnya mengapa dia .sangat gelisah untuk menyelamatkan diri dari cawan kematian yang pahit; bukan karena pengecut tetapi karena takut bahwa umatnya akan terkecoh dan gagal mengenali kebenarannya apabila dia mati di atas salib. Sepanjang malam dia berdoa dengan begitu memilukan dan begitu tidak berdayanya, sehingga dengan membaca tentang penderitaan dan kesengsaraannya itu, hati jadi tersaya-sayat. Namun pada saat drama kehidupan nyata itu mendekati saat kehidupan terakhirnya, puncak ketegangan emosinya, kekecewaan dan ketidakberdayaannya secara penuh telah ditampilkan dalam rintihannya yang terakhir: "Eli, Eli, lamma sabaktani? " yang artinya, "Tuhan-ku, Tuhan-ku, mengapa Engkau telah meninggalkan aku?"1
Hendaknya dicatat bahwa bukan penderitaan saja yang tergambar dalam rintihan itu, tetapi jelas di situ tercampur unsur keterkejutan, mendekati kengerian. Setelah dia disadarkan kembali atas bantuan beberapa murid setianya yang membubuhkan suatu salep terhadap luka-lukanya — yang telah mereka persiapkan sebelum penyaliban dan yang mengandung ramuan-ramuan yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan luka-luka — dengan sangat luar biasa serta gembira, dia kagum dan keimanannya terhadap Tuhan yang sangat dicintai menjadi bangkit serta hidup kembali dalam suatu corak yang jarang dialami manusia dalam hal kehebatan dan ketidakterbatasannya. Kenyataan bahwa salep itu telah dipersiapkan secepatnya, menunjukkan suatu bukti kuat bahwa murid-murid Yesus memang memiliki harapan bahwa dia diturunkan dari tiang salib dalam keadaan hidup, sehingga sangat membutuhkan pengobatan.
Dari hal di atas jadi sangat jelas bahwa konsep-konsep Dosa Warisan dan Penyaliban hanyalah berlandaskan pada dugaan dan khayalan para theolog Kristen pada masa belakangan. Sangat mungkin bahwa hal-hal itu muncul dari beberapa dongeng sebelum Kristen yang memiliki sifat sama, yang ketika diterapkan pada kondisi-kondisi Yesus Kristus, menarik mereka untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang dekat antara keduanya dan menciptakan sebuah dongeng yang serupa. Ringkasnya, apa pun misteri (hal yang belum terbuka) dan paradoks (hal yang ber lawanan dengan asas) yang ada, seperti yang kita saksikan, sebegitu jauh tidak ada bukti bahwa falsafah Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa itu berlandaskan pada sesuatu yang telah dikatakan atau telah dilakukan atau telah dipikirkan oleh Yesus. Dia tidak pernah mengajarkan hal yang sangat bertentangan itu, dan yang jelas-jelas melawan akal manusia.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda