MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Friday 29 October 2010

Pengorbanan yang Tidak Diinginkan

Pengorbanan yang Tidak Diinginkan
Sekarang marilah kita beralih pada peristiwa Penyaliban itu sendiri. Di sini kita dihadapkan pada dilema lain yang tidak terpecahkan. Yesus, sebagaimana berkali-kali diberitahukan kepada kita, mempersembahkan dirinya secara sukarela kepada Tuhan Bapak dan dijadikan sebagai tumbal bagi dosa-dosa seluruh umat manusia, yang tentunya diperuntukkan buat mereka yang mempercayai Yesus. Namun, ketika waktu pengabulan keinginannya .itu sudah mendekat dan akhirnya kilauan harapan bagi umat manusia yang penuh dosa mulai tampil bagai fajar di pagi hari, sebagaimana kita beralih kepada Yesus mengharapkan dapat menyaksikan kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan yang dia rasakan pada detik yang sangat penting dalam sejarah umat manusia itu, betapa mendalamnya kekecewaan dan kebingungan kita. Bukannya kita mendapatkan seorang Yesus yang tidak sabar menanti saat sorak-sorai kegirangan, justru yang kita saksikan adalah seorang Yesus yang merintih, menangis, berdoa, dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menjauhkan cawan pahit kematian itu darinya. Dia benar-benar mengecam seorang muridnya ketika dia mendapatkan muridnya itu tertidur setelah mengalami suatu lari yang panjang dan penderitaan sepanjang malam yang gelap-gulita sehingga tidak memperhatikan Yesus, junjungan sucinya. Keterangan Bible tentang peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
Maka sampailah Yesus bersama-sama muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-muridnya: "Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar, lalu katanya kepada mereka: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku." Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan dia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan: ruh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau cawan ini tidak mungkin berlalu, kecuali apabila aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika ia kembali pula, ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka disitu lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (Matius 26:36-43)
Demikianlah, seperti yang diungkapkan sendiri oleh cerita Kristen, doa-doa dan permohonan Yesus maupun murid-muridnya tidak dikabulkan oleh Tuhan Bapak, dan mau tidak mau, walaupun Yesus mengungkapkan pernyataannya yang kuat, dia akhirnya telah disalibkan. Apakah dia orang yang sama, pangeran tak berdosa yang sama, dan tokoh suri tauladan pengorbanan yang dengan gagah berani mempersembahkan dirinya secara sukarela untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia di atas kedua pundaknya, ataukah dia orang yang lain? Sikapnya, pada saat-saat menjelang penyaliban dan selama peristiwa penyaliban itu sendiri, dengan kuat menebarkan bayangbayang keraguan, mengenai identitas Yesus Kristus maupun mengenai hakikat dongeng yang beredar di seputar dirinya. Namun, tentang itu akan kita bahas belakangan. Sekarang marilah kita kembali pada penelitian cermat yang kita tinggalkan tadi.
Beberapa persoalan lain yang timbul dari jeritan penderitaan terakhir Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Siapa yang telah memanjatkan doa-doa yang sangat pedih dan menyentuh itu? Apakah Yesus sebagai manusia, ataukah Yesus sebagai Tuhan Anak?
Jika itu merupakan Yesus sebagai inanusia, yang telah ditinggalkan, maka ditinggalkan oleh siapa? Dan mengapa? Jika kita terima pilihan ini, hal itu akan menjamin bahwa hingga saat terakhir Yesus sebagai manusia memiliki sebuah identitas yang berdiri sendiri, yang dapat berpikir dan merasakan secara bebas dan secara pribadi. Apakah dia mati pada detik terlepasnya ruh Yesus Tuhan Anak dari tubuh manusia yang telah dia duduki? Jika ya, mengapa dan bagaimana? Jika memang demikian dan tubuh manusialah yang telah mati setelah ruh Tuhan meninggalkannya, maka pernyataan yang muncul adalah: Siapa pula yang telah dihidupkan kembali dari kematian ketika ruh Tuhan mendatangi kembali tubuh yang sama beberapa saat kemudian?
Kembali, pilihan ini akan menggiring kita untuk mempercayai bahwa bukanlah Yesus Tuhan Anak yang merasakan penderitaan saat itu, tetapi tokoh Yesus sebagai manusialah yang merintih dalam penderitaan sedemikian rupa, dan dialah yang merasakan penderitaan, sementara Yesus Tuhan Anak menyaksikannya dengan sikap tidak acuh dan tidak peduli sama sekali. Lalu bagaimana dia dapat menggenapi pendawaan bahwa dialah Tuhan Anak yang telah menanggung penderitaan demi umat manusia, bukan tokoh manusia yang berada dalamnya?
Pilihan lain adalah, kita menganggap bahwa Yesus Tuhan Anaklah yang merintih itu, sementara tokoh manusia yang berada dalam dirinya, mungkin berharap dapat memulai suatu kehidupan baru bagi dirinya sendiri, menyaksikan dengan dugaan yang tidak menentu, sepanjang pengorbanan yang dilakukan Yesus Tuhan Anak, maka dia, Yesus sebagai manusia, dia suka atau tidak, juga akan
dibunuh di atas altar rekannya yang tidak berdosa. Rasa keadilan apa yang telah mendorong Tuhan untuk membunuh dua ekor burung dengan batu yang sama, mungkin suatu misteri yang lain lagi.
Jika itu merupakan Yesus Tuhan Anak, dan memang dialah menurut kesepakatan umum gereja-gereja Kristen, maka persoalan kedua yang muncul dari jawaban pertama adalah tentang identitas pihak kedua yang terlibat dalam ucapan Yesus (Matius 26:39,42). Ada dua pilihan yang terbuka bagi kita:
Pertama, Tuhan Anak berbicara kepada Tuhan Bapak, mengeluhkan bahwa dia telah ditinggalkan pada saat dia membutuhkan. Hal ini dengan tidak terelakkan lagi menggiring kita untuk mempercayai bahwa mereka merupakan dua tokoh berbeda yang tidak hidup bersama dalam satu kepribadian yang saling tergabung, yang secara sepadan bersama-sama memiliki semua sifat dan menerapkannya secara beriringan dengan andil yang seimbang. Satu tokoh tampil sebagai wasit agung, pemilik terkuat kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusankeputusan. Yang satu lagi, Tuhan Anak yang malang, tampaknya darinya telah dicabut secara penuh, atau mungkin secara sementara telah dilepaskan hak-hak kepemilikannya terhadap sifat-sifat kuasa yang dimiliki Bapaknya. Hal utama yang tetap harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa keinginan dan kemauan-kemauan mereka yang saling bertentangan tampak paling banyak bertabrakan dan berselisih satu sama lain selama babak akhir dari drama penyaliban.
Persoalan kedua adalah, apakah kedua tokoh yang berbeda itu, dengan pemikiran-pemikiran pribadi masingmasing, nilai-nilai pribadi masing-masing, dan kapasitaskapasitas pribadi masing-masing merasakan keperihan dan penderitaan jika mereka merupakan "dua dalam satu" dan "satu dalam dua?" Jadi, persoalan lain menuntut dialog panjang di antara para theolog mengenai kemungkinan bahwa Tuhan mampu merasakan keperihan dan hukuman.  
Bahkan walaupun Dia mampu melakukan hal itu, hanya separuh Tuhan yang akan merasakannya, sementara yang separuh lagi (Yesus) tidak mampu melakukan, karena memang sudah demikian strukturnya atau kemutlakan alamiahnya. Sebagaimana kita masuk lebih jauh ke dalam dunia bayangan dari falsafah yang berbelit ini, cahaya mulai semakin redup dan redup, serta kita mendapatkan kebingungan demi kebingungan.
Masalah lain adalah, dengan siapa Kristus berbicara, padahal dia sendiri adalah Tuhan? Ketika dia berbicara kepada Bapaknya, dia sendiri merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari sang Bapak, demikianlah yang diberitahukan kepada kita. Jadi, apa yang dia katakan dan kepada siapa? Pertanyaan ini harus dijawab dengan suatu akal sehat yang bebas, tanpa dipaksa oleh dogma. Hal itu menjadi sebuah dogma hanya apabila tidak dapat diuraikan dalam istilahistilah [pemahaman] manusia. Berdasarkan penyataan Bible, ketika Yesus hampir melepaskan nyawanya, dia merintih kepada Tuhan Bapak: "Mengapa Engkau telah meninggalkan aku?" Siapa yang telah meninggalkan, dan siapa yang telah ditinggalkan? Apakah Tuhan telah meninggalkan Tuhan?

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda