MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Friday, 29 October 2010

AZAB, KEMATIANM PENDERITAAN, DAN PERUBAHAN

Azab Neraka
Berikut ini, persoalan neraka, yang menurut doktrin Kristen, Yesus telah ditahan dalamnya, harus diteliti lebih cermat. Neraka jenis apa itu, apakah sama dengan neraka yang kita baca di Perjanjian Baru, yang mengatakan:
"Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya untuk mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan di Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan ada ratapan dan hentakan gigi. (Matius 13:41-42).
Sebelum kita maju lebih lanjut, harus dipahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh Perjanjian Baru dengan azab api atau azab neraka. Apakah itu api yang membakar ruh ataukah api lahiriah yang membakar tubuh sehingga dengan demikian api itu menyiksa ruh? Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa sesudah mati kita akan kembali ke tubuh semula yang telah ditinggalkan ruh untuk hancur menjadi tanah dan debu, atau akankah diciptakan suatu tubuh baru untuk masing-masing ruh dan apakah orang yang dibangkitkan kembali itu akan mengalami semacam reinkarnasi?
Jika itu merupakan api lahiriah dan suatu azab badaniah, maka orang terpaksa menarik imajinasinya sampai ke batas akhir untuk membayangkan apa yang mungkin telah terjadi dalam kasus Yesus Kristus. Sebelum Yesus dijerumuskan ke dalam api, apakah ruhnya telah dimasukkan kembali ke dalam tubuh manusia yang telah Yesus tumpangi terus sepanjang hidupnya di bumi, atau apakah Yesus dengan cara tertentu telah dipindahkan ke dalam suatu tubuh samawi? Jika kasusnya adalah tubuh samawi, maka tubuh samawi tersebut tidak dapat disentuh oleh api lahiriah neraka untuk dihukum, diazab ataupun dihancurkan. Sebaliknya jika kita menerima skenario bahwa tubuh manusia yang Yesus diami itulah yang akan dibentuk kembali bagi Yesus untuk menjadi semacam medium/sarana guna merasakan azab neraka, maka orang tidak dapat luput mencatat suatu serangan lain yang dilakukan terhadap asas keadilan Ilahi. Sungguh malang si manusia itu, pertama-tama dirinya telah dibajak sepanjang hidupnya oleh suatu ruh asing, tetapi kemudian sebagai imbalan dari sikapnya yang mau menampung ruh asing tersebut yang dipaksakan kepadanya, dia akan dibakar dalam neraka demi suatu kejahatan yang tidak dia lakukan. Pahala atas pengorbanannya itu telah dikuasai sepenuhnya oleh si penumpang asing yang bernaung dalam dirinya. Sekali lagi, bagaimana nasib ruh si manusia itu? Barangkali dia tidak punya suatu ruh miliknya sendiri. Jika dia tidak punya, maka manusia yang ada dalam Yesus dan Tuhan yang ada dalam Yesus seharusnya satu dan merupakan tokoh yang sama; sedangkan dalil yang mengatakan bahwa Yesus kadangkadang bersikap atas dorongan-dorongan nurani manusianya dan kadang-kadang atas kehendak Ilahi, telah gugur. Satusatunya konsep yang dapat diterima oleh akal adalah, satu ruh dan satu tubuh adalah sama dengan satu orang/tokoh. Dua ruh dan satu tubuh adalah suatu pemikiran aneh yang hanya dapat dipaparkan oleh orang-orang yang percaya bahwa manusia dapat ditumpangi/dirasuki oleh hantu-hantu atau makhluk-makhluk sejenisnya.
Pengorbanan dan Kebahagiaan Ruhani
Jika pilihan kedua lebih dapat diterima oleh para theolog Kristen – yakni menganggap bahwa hanya ruh Yesuslah yang telah masuk ke dalam neraka dan nerakanya pun adalah neraka ruhani – maka tampaknya tidak ada alasan mengapa kita harus menolak gagasan ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Akan tetapi neraka ruhani hanya tercipta melalui keperihan-keperihan hati nurani atau rasa bersalah. Dalam kasus Yesus Kristus, tidak satu pun yang dapat diterapkan. Jika anda mendapat hukuman atas kejahatan orang lain, anda sebagai orang yang tidak bersalah, di situ bukanlah keperihan-keperihan hati nurani yang diberlakukan, melainkan sebaliknya. Ruh orang seperti itu akan bergetar dengan suatu rasa mulia dan pengorbanan diri, yang akan sama dengan surga ruhani, bukannya neraka.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan tubuh yang telah ditumpangi oleh Yesus dan tentang makna mati dalam kaitan dengan tubuh tersebut serta mengenai makna kehidupan/ kebangkitan kembali dalam konteks yang sama. Menurut pengetahuan kita, tubuh Yesus Kristus merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam kedudukan Yesus sebagai Anak Tuhan. Jika tidak, dia tidak akan memiliki landasan titik-temu bagi sisi ketuhanannya dan sisi kemanusiaannya untuk berpadu serta memainkan peranperan yang benar-benar berbeda dalam kondisi-kondisi tertentu. Kadang-kadang kita menyaksikan sisi manusialah yang memegang kendali yang menggambarkan bahwa dia memiliki suatu ruh tersendiri bagi dirinya. Dan kadangkadang kita menyaksikan sisi Tuhanlah yang menegaskan keberadaannya dan mengendalikan kemampuan--kemampuan otak serta kalbu si manusia itu. Sekali lagi kami menekankan bahwa hal itu hanya dapat terjadi apabila terdapat dua tokoh berbeda terikat dalam satu wujud.
Makna Kematian dalam Kaitan dengan Kristus
Setelah memahami dengan jelas pilihan-pilihan yang berbeda mengenai peran-peran berkaitan yang dimainkan oleh tokoh Tuhan dan tokoh manusia dalam wujud Yesus, kami mencoba memahami penerapan kata "mati" dan seluruh maknanya yang berkaitan dengan Yesus.
Jika dia mati selama tiga hari tiga malam maka dalam hal itu kematian harus dipahami dalam makna bahwa ruh telah dipisahkan dari tubuh, dan ruh meninggalkannya. Hal itu berarti ruh harus meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungannya secara penuh sehingga yang tertinggal hanyalah jasad yang tak bemyawa. Sejauh ini masih bagus. Yesus akhimya telah dibebaskan dari kurungan dalam tubuh lahiriah seorang manusia. Pembebasan dari kurungan ini seharusnya tidak dianggap sebagai suatu hukuman sama sekali. Kembalinya ruh Ilahiah Tuhan Anak ke dalam perwujudan mulia yang sama, dalam bentuk apa pun tidak dapat diperlakukan seperti kematian manusia biasa. Kematian manusia menakutkan bukanlah karena ruh meninggalkan tubuh dan memutuskan hubunganhubungannya dengan memperoleh suatu kesadaran baru, tetapi rasa takut tentang kematian pada dasarnya karena terputusnya secara permanen hubungan-hubungan seseorang dengan banyak orang yang dia cintai yang tertinggal di dunia ini, serta meninggalkan hartanya dan berbagai hal yang dia cintai. Seringkali terjadi bahwa seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk hidup memilih lebih baik mati daripada menjalani suatu kehidupan yang hampa.
Dalam kasus Yesus, rasa penyesalan mendalam tidak tampil. Baginya jendela-kematian telah terbuka hanya pada satu arah, yakni berupa keuntungan dan bukan kerugian. Mengapa perpisahannya dari tubuh itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan sebagai peristiwa yang menyengsarakan? Kembali, jika sekali dia mati dan secara hakiki, tidak secara kiasan, melepaskan nyawa, sebagaimana yang diinginkan orang-orang Kristen agar kami mempercayainya, maka kembalinya dia ke dalam tubuh yang sama adalah suatu langkah yang paling tidak bijaksana yang diterapkan kepada Yesus. Apakah dia dilahirkan lagi ketika dia kembali pada tubuh yang telah dia tinggalkan saat kematian? Jika proses ini akan dinyatakan sebagai hidupnya kembali atau kebangkitan kembali bagi Yesus, maka tubuh pun harus diabadikan juga. Namun, yang kami baca dalam Bible adalah suatu kisah yang benar-benar berbeda. Menurut kisah itu, Yesus telah dibangkitkan kembali dari kematian dengan cara memasuki tubuh yang dengannya dia telah disalibkan, dan itulah yang disebut sebagai kembalinya Yesus memperoleh kehidupan. Dengan demikian, apa artinya langkah Yesus untuk meninggalkan tubuh itu sekali lagi? Tidakkah hal itu akan sama dengan kematian kedua?
Jika perpisahan pertama dari tubuh itu merupakan kematian, sudah pasti yang kedua kalinya dia diyakini telah meninggalkan tubuh manusia, maka seharusnya dia dinyatakan telah mengalami kematian abadi. Ketika ruh meninggalkan tubuh untuk pertama kalinya, anda namakan hal itu kematian; ketika ruh kembali kepada tubuh semula, anda namakan hal itu kehidupan sesudah mati. Namun akan anda namakan apa ketika ruh sekali lagi meninggalkan tubuh yang sama dan tidak pemah kembali lagi — akankah hal itu dinamakan kematian abadi ataukah kehidupan abadi menurut istilah Kristen? Hal itu pasti merupakan kematian abadi dan tidak lebih dari itu. Hal itu merupakan pertentangan di atas pertentangan. Sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat mengerikan!
Jika dinyatakan bahwa tubuh tersebut tidak ditinggalkan pada kali yang kedua, maka kita mendapatkan suatu skenario aneh di dalamnya Tuhan Bapak tampil sebagai suatu wujud ruhani non badaniah yang tidak terbatas, sementara Tuhan Anak terperangkap dalam batas-batas sempit wujud yang tidak abadi.
Penderitaan Terbatas untuk Dosa Tak Terbatas
Dapat dinyatakan, tidak selamanya hanya penderitaanpenderitaan hati nurani saja yang menimbulkan suatu kondisi menyedihkan dalam pikiran dan kalbu orang-orang yang peka terhadap kesalahan-kesalahan mereka. Pada sisi lain, rasa simpati mendalam terhadap penderitaanpenderitaan orang lain juga dapat menimbulkan suatu keperihan seumur hidup bagi seseorang yang bersih dari kejahatan secara penuh maupun sebagian, tetapi memiliki penderitaan dengan nilai ruhani yang luhur demi orang-orang lain. Hal itu juga dapat membentuk suatu neraka yang setara. Ibu-ibu mengalami penderitaan untuk anak-anak mereka yang sakit. Pengalaman manusia memberikan kesaksian tentang fakta bahwa kadang-kadang demi seorang anak yang cacat secara permanen, maka seluruh kehidupan sang ibu berubah menjadi suatu neraka yang nyata. Jadi, mengapa kita tidak dapat akui bagi Yesus kemampuan mulia untuk menanggung penderitaan demi orang-orang lain? Mengapa tidak. Namun, mengapa hanya tiga hari tiga malam saja? Mengapa tidak selama perjalanan sementaranya di dunia, dan bahkan sebelum serta sesudah itu? Orang-orang yang mulia tidak hanya mengalami penderitaan secara sementara dalam suatu jangka waktu maupun hari yang terbatas. Kalbu-kalbu mereka tidak tenteram kecuali mereka menyaksikan bahwa kesengsaraan itu telah dihapuskan atau dilenyapkan secara menyeluruh. Neraka yang kita bicarakan ini bukanlah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh seorang suci tidak berdosa; hal itu merupakan suatu nilai luhur yang pada batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatangbinatang buas di hutan belantara demi sesama mereka.
Setelah beberapa uraian lagi saya akan menyudahi masalah ini, tetapi saya memiliki satu hal penting lainnya yang akan saya singgung secara ringkas. Hukuman yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi Yesus Kristus hanya berlangsung tiga hari tiga malam, sedangkan para pelaku dosa yang untuk mereka Yesus telah dihukum, telah melakukan dosa-dosa yang begitu mengerikan dan sekian lama, menurut Bible, hukuman bagi mereka adalah penderitaan abadi dalam neraka. Jadi, Tuhan adil yang bagaimana Allah itu, yakni ketika tiba saat hukuman bagi ciptaan-ciptaan-Nya, orang-orang yang bukan anak laki-laki atau anak perempuan-Nya, mereka dihukum secara abadi? Namun ketika tiba saat hukuman bagi Anak-Nya sendiri, demi dosa-dosa yang secara sukarela telah dia pikul, tiba-tiba saja hukuman itu dikurangi. Hanya tiga hari tiga malam. Tidak sebanding sama sekali. Jika ini yang dinamakan keadilan, maka tidak perlu ada keadilan. Bagaimana Tuhan memandang perilaku umat manusia, yang telah Dia ciptakan melalui tangan kanan-Nya sendiri, jika mereka menerapkan keadilan seperti yang mereka pelajari dari Tuhan dengan cara memberlakukan ukuran yang berbeda bagi anak-anak mereka sendiri sedangkan bagi orang-orang lain ukurannya lain lagi? Apakah Tuhan Bapak memandang penjiplakan yang sangat setia itu dengan rasa senang atau rasa ngeri? Memang sangat sulit untuk menjawabnya.

Perubahan Apa yang Ditimbulkan oleh Penebusan Dosa?
Sejauh yang berkaitan dengan dampak penyaliban Yesus Kristus dalam kaitannya dengan hukuman terhadap dosa, kami telah buktikan bahwa keimanan terhadap Yesus Kristus tidak mengurangi hukuman terhadap dosa dalam bentuk apa pun, yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk Adam dan Hawa serta anak keturunan mereka. Semua ibu masih melahirkan anak mereka dengan rasa sakit dan kaum pria masih mencari nafkah dengan kerja keras. Kita dapat tinjau hal ini dari sudut lain, yakni suatu perbandingan luas antara dunia Kristen dan bukan Kristen sejak zaman Yesus Kristus. Tidak seorang pun dari kalangan orang yang mempercayai Yesus dapat menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam periode sejarah mana pun, yakni berupa kenyataan bahwa kaum wanita mereka melahirkan anak-anak mereka tanpa rasa sakit dan kaum pria mereka mencari nafkah tanpa kerja keras. Mereka tidak menampakkan perbedaan apa pun dalam hal ini jika dibandingkan dengan dunia bukan Kristen.
Sejauh yang berkaitan dengan kecondongan untuk melakukan dosa, dunia orang-orang yang mengimani Kristus dibandingkan dengan dunia orang-orang yang tidak mengimani beliau, tidak membuktikan bahwa takdir untuk melakukan dosa telah dihapuskan secara menyeluruh di kalangan orang-orang yang masuk dalam kategori beriman pada Yesus Kristus. Sebagai tambahan, orang menjadi heran mengapa beriman kepada Tuhan telah dianggap begitu rendah derajatnya dibandingkan beriman kepada Anak-Nya. Hal itu masih relevan khususnya pada zaman sebelum terbukanya bagi umat manusia rahasia kuno yang disimpan erat-erat selama berabad-abad itu (bahwa Tuhan memiliki seorang Anak). Banyak orang yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Demikian pula tidak terhitung banyaknya orang yang lahir di setiap agama dan negeri di bumi ini sejak masa Kristus, yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Mengapa kepercayaan terhadap Tuhan tidak memberikan pengaruh apa pun pada kejahatan manusia dan hukumannya? Sekali lagi mengapa Tuhan Bapak tidak dapat memperlihatkan kemuliaan berupa penderitaan demi para pelaku dosa, seperti yang telah ditampakkan oleh anaknya yang lebih mulia? Tampaknya Tuhan Anak sudah barang tentu memiliki nilai-nilai akhlak lebih tinggi (kita berlindung kepada Allah) daripada Bapaknya yang kurang beradab. Orang dapat saja bertanya, apakah kedudukan Tuhan sedang mengalami perubahan dan masih dalam proses menuju kesempurnaan

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda