MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Thursday 28 October 2010

KONSILI DI NICEA . YUNANISASI JERUSSALEM

1. Menuju Konsili Nikea
Dari kristologi abad I, yang serba majemuk dan karena itu pun kabur, mulai berkembang dan timbul, selama abad II dan awal abad III beberapa garis besar. Dalam pergumulan antara pelbagai pendekatan, seperti adoptionisme, gnostik, doketisme dan monarkianisme, hasil pertemuan warisan jemaah-jemaah Kristen awal dengan alam pikiran Yunani yang serba sinkretis, problematiknya mulai menjadi jelas. Masalah pokok ialah: Bagaimana mempertahankan bahwa Yesus benar-benar manusia (melawan gnosis dan doketisme) dan benar-benar ilahi (melawan adoptianisme), dan serentak mempertahankan monoteisme (monarkianisme). Dan apa yang akhirnya dipertaruhkan dalam pergumulan itu ialah keselamatan manusia, seperti khususnya ditekankan Ireneus.

Hanyalah dalam pergumulan itu kristologi hampir saja secara eksklusif menjadi kristologi dari atas. Dalam pemikiran para cendekiawan Kristen perhatian semakin bergeser dari soteriologi, karya penyelamatan Yesus Kristus (yang tentu selalu menjadi latar belakang) kepada diri Yesus Kristus sendiri. Dan semuanya berlangsung dalam alam pikiran Yunani, yang semakin, sadar atau tidak sadar, dipakai. Dalam alam pikiran itu problem yang paling penting ialah: Siapa sebenarnya Yesus Kristus, apa itu Yesus Kristus? Guna menjernihkan duduknya perkara semakin dirnanfaatkan filsafat yang berpancar dari Plato (platonisme) dan Zenon (Stoa) yang sendiri bercampur. Semakin tajam problematik sekitar Yesus Kristus, Firman Allah (logos, yang berasal dari Kristologi Yoh), "nous" ilahi, dalam kepra-adaan-Nya. Bagaimana relasi Firman, logos ilahi itu dengan Allah yang mahaesa? Dan masalah yang tidak kurang pelik ialah: bagaimana relasi Firman ilahi, Anak Allah yang pra-existen itu dengan manusia Yesus, orang Nazaret? Kristologi menjadi semakin spekulatif dan abstrak.

Meskipun mulai timbul beberapa garis besar dalam kristologi, namun refleksi atas fenomena Yesus dalam rangka pemikiran Yunani toh masih juga simpang siur. Buktinya Hippolytus dari Roma (± 235). Sama seperti Ireneus, Hippolytus bergulat dengan apa yang dinilainya sebagai "haeresis", bidaah, penyelewengan dari iman benar (buktinya ialah karya Hippolytus: Philosophoumena, ialah Refutatio omnium haeresium; Syntagma). Dalam kristologinya Hippolytus menyalurkan tradisi dan pemikiran pendahulu-pendahulunya (a.l. Yustinus, Athenagoras, Ireneus). Namun demikian, Hippolytus sampai berkata bahwa Firman Allah sebagai "pribadi" tidak kekal. Pada saat tertentu Firman itu keluar dari Allah dan menjadi manusia. Dan pada waktu menjadi manusia Firman itu barulah menjadi Anak Allah. Dan tidak hanya Allah dapat menjadi manusia, tetapi juga seorang manusia oleh Allah dapat dijadikan Allah. Maka tidak jelas lagi apakah logos itu benar-benar ilahi atau makhluk saja, Allah kedua oleh karena dijadikan Allah. Pikiran Novatianus (± 250) dalam karyanya De Trinitate (Mengenai Tritunggal) mirip dengan pikiran Hippolytus dan kristologinya jelas subordinasionis: Logos yang mandiri tidak kekal (bdk. Contra Haer. Noet. 10.11.15).

Selama abad II berkembanglah beberapa sarana untuk menentukan mana iman kepercayaan Kristen yang benar. Dan sarana utamanya, bahkan satu-satunya sarana ialah "tradisi" yang berpangkal pada Yesus dan para rasul. Tradisi itu disalurkan oleh jemaah-jemaah di bawah pimpinan seorang uskup, khususnya uskup-uskup jemaah-jemaah rasuli. Hanya sudah menjadi jelas pula bahwa uskup-uskup itu sendiri kadang-kadang bingung dan tidak dapat dipercaya. Maka tradisi sejati itu pun disalurkan melalui "regula fidei" (kaidah iman), yakni ringkasan pokok-pokok inti iman kepercayaan Kristen yang umum diterima oleh jemaah-jemaah. Regula fidei mulai menjurus ke suatu "Syahadat". Misalnya suatu ringkasan yang tersusun sekitar th. 150 (DS 1) berbunyi sebagai berikut: "(Aku percaya) kepada Bapa, Penguasa segala sesuatu, dan kepada Yesus Kristus, Juru Selamat kita, dan kepada Roh Kudus, Parakletus, dan kepada Gereja dan kepada pelepasan dosa-dosa". Selanjutnya ditetapkan karangan-karangan mana termasuk ke dalam Kitab Suci (Perjanjian Baru). Kanon Kitab Suci mulai ditentukan. Kriteriumnya: Apakah karangan-karangan tertentu umum dipakai oleh jemaah-jemaah Kristen sebagai berasal dari masa rasuli?

Jadi "kaidah iman" tersebut serta Kitab Suci menjadi pegangan bagi iman kepercayaan umat secara menyeluruh. Itulah yang menjadi tolok ukur bagi pewartaan iman. Dan dalam ibadat yang juga semakin berkembang (khususnya Baptisan dan Ekaristi) iman itu dihayati (saksinya: Yustinus dan Hippolytus). Dengan jalan itu iman kepercayaan Kristen diteruskan. Hanyalah iman itu kurang tegas terungkap secara konseptual dan linguistik. Kecuali itu, juga ibadat umat (yang belum seragam juga) terpengaruh oleh alam religius Yunani yang serba sinkretis. Tidak sedikit unsur-unsur dari religi Yunani itu menyusup ke dalam ibadat umat Kristen. Refleksi atas iman kepercayaan Kristen, teristimewanya sekitar Yesus Kristus, selama abad III meneruskan jalur yang mulai ditempuh selama abad II. Dan selama abad III refleksi itu menjadi ilmiah. Selama abad II para pemikir Kristen (seperti Athenagoras, Yustinus) agak curiga terhadap ilmu, khususnya filsafat Yunani (meskipun mereka sendiri memanfaatkannya).

Tetapi selama abad III, waktu umat Kristen juga secara sosio-politik menjadi unsur penting dalam masyarakat Yunani-Romawi, sikap itu berubah. Para pemikir Kristen mengambil sikap positif terhadap ilmu filsafat Yunani dan dengan senang hati memanfaatkannya untuk memperdalam, menjernihkan dan mengungkapkan Iman kepercayaan Kristen. Dalam hal itu mereka amat tertolong oleh suatu pandangan yang sudah berkembang pada orang-orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani. Orang Yahudi itu sudah memperkenalkan iman kepercayaan Yahudi (Perjanjian Lama) sebagai suatu "filsafat/hikmat", bahkan sebagai filsafat yang tertua, lebih tua daripada filsafat/hikmat Yunani. Filsuf-filsuf Yunani yang tersohor berguru pada filsafat Yahudi. Maka filsafat/hikmat Yunani boleh juga dipakai untuk mengungkapkan iman kepercayaan Yahudi dan Kristen.

Dalam suasana itu muncullah "perguruan tinggi" teologi Kristen. Dengan sengaja dan secara sistematik iman kepercayaan Kristen di sana dikelola dan diajarkan untuk mendidik "teolog". Berkembanglah dua "perguruan tinggi teologi" (kategese) macam itu, yang masing-masing masih ada cabangnya juga. Dua-duanya berkembang di kawasan timur negara Roma. Dan itulah yang menyebabkan bahwa teologi, khususnya kristologi, selama abad III-IV berkembang terutama di kawasan timur itu. Di kawasan barat tidak ada sesuatu yang sebanding. Tetapi adanya kedua perguruan tinggi itu pun menyebabkan bahwa muncullah dua "mazhab" dalam teologi, khususnya dalam kristologi. Selama abad III-IV kedua mazhab itu bersaingan dan berusaha saling mengalahkan.

Perguruan tinggi pertama dan terpenting didirikan di kota Aleksandria di Mesir. Sejak hari jadinya (oleh Aleksander Agung th. 331 seb. Mas.) kota itu menjadi pusat ilmu dan kebudayaan, baik pada umumnya maupun bagi orang-orang Yahudi dan kemudian bagi orang-orang Kristen. Pada th. 180 Mas. sudah ada perguruan tinggi teologi yang dikelola oleh Patenus. Sesudahnya dipimpin oleh Klemens dari Aleksandria (± th. 215) dan terutama oleh Origenes (± th. 253). Origenes pada th. 232 membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina. Sejumlah besar tokoh teologi (dan gerejani) keluaran perguruan di Aleksandria itu (a.l. Dionysius, Pierius, Petrus dari Aleksandria, Didymus, (Cyrillus). Mazhab Aleksandria itu bergerak dalam alam pikiran filsafat yang berpangkal Plato dan terpengaruh oleh gnosis Yunani. Dalam menafsirkan Kitab Suci mazhab ini meneruskan eksegcse allegorik yang sudah dimanfaatkan para filsuf untuk mengartikan mitos-mitos dan para ahli Yahudi — misalnya Filo — untuk mengartikan Perjanjian Lama.

Perguruan tinggi teologi Kristen yang kedua berkembang di Antiokhia di Siria. Kota ini pun sudah lama menjadi pusat ilmu, filsafat dan kebudayaan Yunani. Perguruan tinggi teologi Kristen itu didirikan pada tahun 260 oleh Lucianus dari Samosata (± th. 312). Perguruan tinggi ini mempunyai cabangnya di kota Edesa di Mesopotamia. Tokoh teologi yang besar seperti Diodorus dari Tarsus, Meletius dari Antiokhia, Johanes Khrisostomus, Theodorus dari Mopsuestia, Nestorius dan Teodoretus dari Sirus dan Efraim orang Siria adalah wakil mazhab Antiokhia itu. Mazhab ini pun bergerak dalam alam pikiran Yunani, tetapi terlebih terpengaruh oleh ilmu dan filsafat Arestoteles, bersifat positives, kurang mistik dan lebih rasionalis daripada mazhab Aleksandria. Dalam eksegese mazhab Antiokhia menekankan segi historik dan harafiah Kitab Suci dan kurang gemar akan allegorese.

Wakil pertama yang berbobot dari mazhab Aleksandria ialah Ktemens dari Aleksandria (± th. 1225). Pemikirannya tentang fenomena Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya, meneruskan dan mengembangkan pemikiran Yustinus dan (kurang) Ireneus. Klemenslah yang menentukan arah perkembangan mazhab Aleksandria selanjutnya. Ia mempunyai hati yang lebar-lebar terbuka bagi alam pikiran Yunani dan berusaha mengkristenkan filsafat Plato dan gnosis Yunani. Bau gnostik misalnya tercium dalam ucapan Klemens ini: "Mengenal dirinya ialah mengenal Allah" (Paed. 3,1. 1.1). Dengan pendekatan positif Klemens berusaha melampaui penyelewengan dalam iman Kristen yang tercetus oleh alam pikiran Yunani (gnosis, doketisme, monarkianisme). Pikiran-pikirannya tercantum dalam karya-karya utamanya ialah Pendidik (Paedagogus) dan Permadani (Stromata).

Kristologi Klemens tentu saja bertitik tolak Firman Allah (logos ilahi) dalam kepra-adaan-Nya. Firman itu ialah Anak Allah dan gambar Allah. Ia kekal abadi dan dengan-Nya segala sesuatu dijadikan. Menurut Klemens, sesuai dengan filsafat Plato dan Stoa, Firman itu meresap ke dalam segala sesuatu, mengatur dan memimpin jagat raya sebagai akal dan jiwanya. Semua manusia, khususnya para filsuf, menjadi peserta dalam Firman ilahi itu (Protr 6.68.2). Pada saat tertentu Firman atau Anak Allah itu menjadi nampak bagi manusia oleh karena menjadi manusia. Dengan demikian Firman/Anak Allah serentak ilahi dan manusiawi (Protr 1,7.1). Allah dalam manusia dan manusia dalam Allah (Paed 3,2.1) ialah Yesus Kristus. Kalau Klemens menyebut Yesus Kristus "Allah", maka sebutan itu belum banyak artinya. Sebab menurutnya setiap orang yang dengannya Firman ilahi diam bersama mendapat rupa "Firman" dan menjadi Allah (Paed 3.1.2.5). Yesus Kristus, ialah Firman Allah yang menjadi manusia, merupakan penyambung antara umat manusia dan Allah (Paed 10,110.1). Allah-manusia yang satu itu benar-benar menderita dan mati (Strom 5,16.5).

Firman dan Anak Allah yang terbungkus dalam manusia dari darah dan daging (Quis Dives 37,3) dalam seluruh eksistensi-Nya di dunia berperan sebagai "Pendidik" dan "guru" (Paed 3,12.99.2). Dengan pendekatannya itu Klemens mengkristenkan suatu gagasan yang amat penting dalam alam pikiran Yunani dan sudah dipakai oleh Tit 2:11-12. Gagasan itu ialah "pendidikan" (paideial). Pendidikan dalam pendekatan Yunani ialah suatu jalan dan sarana penyelamatan, sebab memberi "pengetahuan", gnosis, seperti juga diusahakan para gnostik. Menurut Klemens dosa dasar manusia, yakni Adam, ialah: meluputkan diri dari pendidikan ilahi oleh Firman Allah) (Protr 11,111; Strom 6,12.96) dan manusia-manusia lain dalam hal itu mencontoh Adam saja.

Maka Firman Allah menjadi manusia guna kembali mendidik manusia, mengajar mereka, memberi gnosis/pengetahuan eksistential, tentang Allah. Tentu saja — ini pun cocok dengan pikiran Yunani — Allah tetap tidak tercapai, juga oleh Firman / Logos yang menjadi manusia tidak. Barang siapa menerima pendidikan dan pengetahuan itu disempurnakan dalam penyerupaan asli dengan Allah, diilahikan dan akhirnya memandang Allah. Sesuai dengan misalnya Ireneus, Klemens dapat berkata bahwa Allah (Firman/Anak Allah) menjadi manusia, supaya manusia menjadi Allah, ilahi dan Anak Allah. Tetapi maksud Klemens lain. Firman yang menjadi manusia "mengajar" manusia bagaimana ia dapat menjadi Allah (Protr 1,8. 4). Semuanya itu berbau gnosis Yunani yang dikristenkan.

Klemens dari Aleksandria yang tentu saja mau meneruskan tradisi mewartakan seorang Yesus Kristus Yunani. Ia menonjolkan ciri ilahi Yesus Kristus sedemikian rupa, sehingga ciri manusiawinya yang secara formal dipertahankan nyatanya diserap oleh ciri ilahi. Klemens misalnya dapat berkata (Strom 6,9.91.2) bahwa Yesus Kristus makan dan minum bukanlah oleh karena membutuhkannya, sebab daya penyangga Yesus ialah logos ilahi. Yesus hanya makan dan minum supaya orang sekitarnya tidak mendapat kesan bahwa kejasmanian-Nya hanya bayangan (phantasma) saja. Menurut Klemens manusia Yesus sebenarnya bebas sama sekali dari segala nafsu. Itulah cita-cita askese Yunani, apatheia.

Sehaluan dengan Klemens tetapi jauh melampauinya sebagai teolog ialah Origenes, seorang imam dari Aleksandria (± 253/25). Dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah Agustinus yang sebanding dengan Origenes. Dan meskipun di kemudian hari dikutuk sebagai "tersesat" (secara resmi barulah pada th. 543), namun pengaruh Origenes atas pemikiran dan kehidupan umat Kristen besar dan luas sekali dan berlangsung sampai dengan hari ini, tidak hanya di bagian timur kekristenan, tetapi juga di bagian barat. Sebagai teolog Origenes memang seorang "allround". Ia seorang filsuf (platonis), seorang ahli kitab dan ahli bahasa, seorang teolog dan seorang mistikus. Mungkin karena kebesaran dan keunggulannya Origenes sejak awal menjadi tokoh kontroversial.

Mula-mula Origenes, sebagai pengganti Klemens, menjadi pemimpin perguruan tinggi teologi di Aleksandria. Tetapi olen karena tidak disenangi uskupnya dan dipecat, maka Origenes membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina, dengan dukungan uskup setempat (th. 230). Menjelang akhir hidupnya oleh pemerintah (Decius) Origenes dijebloskan ke dalam penjara dan disiksa dengan ngeri. Dan itu menyebabkan kematiannya.

Pikirannya dituangkan ke dalam sejumlah besar tulisan (konon sekitar 2000!) dan untuk kerjanya Origenes menggunakan suatu staf besar (7 stenograf, 1 penulis, sejumlah putri yang merias tulisannya). Ada karya raksasa di bidang perkitabsucian yang disebut "Hexapla" dan di samping itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci, yang bermacam-macam jenisnya. Teologi sistematiknya terurai dalam karya besar "Mengenai pokok-pokok utama" (iman kepercayaan Kristen) (Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya apologetis "Melawan Celsus" (seorang filsuf Yunani yang menyerang kekristenan dalam karyanya "Alethinos Logos", pikiran yang benar).

Seperti ditegaskannya dalam kata pendahuluan karya "Peri Arkhon Origenes mau setia pada tradisi, apa yang diistilahkannya sebagai "pewartaan/praedicatio Gereja". Ia sendiri mengumpulkan ajaran yang umum diterima (semacam syahadat), tetapi sekaligus mencatat di mana ajaran tegas tidak ada, belum ada. Hanya tradisi itulah mau dipikirkan Origenes dengan hati-hati. Dengan maksud yang sama Origenes berusaha menentukan mana teks Kitab Suci yang dapat dipercaya (Hexapla) dan kitab-kitab mana yang umum diterima sebagai Kitab Suci (kanon Kitab Suci). Memang Origenes dapat tahu mana ajaran Gereja dan mana kitab-kitab yang umum diterima. Ia membuat banyak perjalanan; ke Roma, Atena, Antiokhia, Kapadosia, Palestina.

Hanya Origenes seorang teolog kreatif yang bernafas dan hidup dalam suasana intelektual Yunani yang — juga secara populer — menyerap filsafat Plato dan penerus-penerusnya. Dan suasana itu justru paling intensif di Aleksandria. Di sana orang-orang Yahudi sudah lama menyerap alam pikiran itu. Karya-karya Filo dari Aleksandria dikenal Origenes. Maka sama seperti dan malah lebih dari Klemens, Origenes secara spontan terbuka bagi Pengaruh Yunani itu. Tendensi yang sudah lama ada itu menjadi matang dalam pemikiran Origenes. Ia berusaha dengan tuntas mengungkapkan iman-kepercayaan tradisional dalam alam pikiran Yunani.

Untuk dapat mengikuti pikiran Origenes orang mesti ingat akan latar belakang Yunani itu. Platonisme (dan Stoa) mempunyai pandangannya sendiri terhadap dunia dan terhadap manusia. Ada suatu kosmologi dan suatu antropologi khusus, yang di masa itu memang tersebar luas.

Secara statik-vertikal dunia dipikirkan terdiri atas beberapa tingkat. Tingkat paling atas ialah tingkat ilahi (Yang Ilahi, Allah) yang oleh manusia tidak tercapai. Dari padanya berasallah (dipikirkan dengan pelbagai cara) tingkat tengah. Dan dari situ datanglah dunia materiil yang diamati. Khususnya Plato dan penerusnya memikirkan halnya l.k. sebagai berikut: Pada yang Ilahi ada "akal" (logos, nous) yang secara ideal, berupa cita-cita,, mengandung seluruh realitas. Cita-cita yang masih satu itu tercermin dalam suatu dunia rohani intelektual. Dalam dunia rohani itu cita-cita tersebut mengenai seluruh realitas menjadi terpisah dan tersendiri. Akhirnya cita-cita itu secara terbatas dan tidak sempurna tercermin dalam dunia yang didiami manusia.

Manusia dipikirkan terdiri atas tiga (atau dua) unsur tersendiri (bdk. ITes 5:23). Bersama-sama unsur itu membentuk manusia seadanya. Ada akal (logos, nous, pneuma) manusia, yang merupakan manusia yang sebenarnya, peserta dalam logos/nous ilahi. Unsur kedua ialah "jiwa (psykhe) prinsip hidup jasmani. Dengan jiwa itu akal bergabung. Dan akhirnya ada badan yang merupakan unsur rendah dalam manusia dan yang membatasinya. Badan itu sebenarnya hanya beban saja bagi akal/ logos, pneuma. Akal (ataupun jiwa) sudah ada sebelum bergabung dengan badan, jadi sebenarnya termasuk tingkat kedua, dunia rohani tersebut.

Baiklah diingat kosmologi dan antropologi Yunani secara dasariah berbeda dengan kosmologi dan antropologi yang melatarbelakangi Kitab Suci Perjanjian Lama (kecuali Keb) dan, pada umumnya, Perjanjian Baru. Dunia yang diciptakan Allah dilihat oleh Kitab Suci sebagai serangkaian kejadian dan manusia dilihat sebagai suatu kesatuan yang tentu ada berbagai seginya, tetapi bukanlah sebuah "kemajemukan", yang terbentuk dengan pelbagai unsur yang berdiri sendiri.

Adapun Origenes, dalam rangka pikiran Yunani tersebut ia merefleksikan ajaran tradisional mengenai Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya. Kosmologi dan antropologi Yunani diadaptasikan pada kepercayaan Kristen tentang penciptaan. Origenes tidak menerima bahwa dunia dan manusia, entah bagaimana, kekal dan abadi. Dan Allah bagaimanapun juga tidak termasuk jagat raya. Origenes menolak emanasi, seolah-olah segalanya akhirnya semacam cetusan dari yang ilahi. Tentu saja ajaran khas Origenes mengenai "apokataiasis panton" (pemutihan segala sesualu) mirip dengan pandangan Yunani bahwa segala sesuatu akhirnya dipulihkan menjadi satu kembali. Tetapi Origenes mengartikan pandangan itu secara soteriologis. Semua orang (termasuk Iblis) akhirnya akan selamat. Kemudian mulailah lingkaran berikut. Sebab — ini sesuai dengan Plato — menurut Origenes, dunia (lingkaran) yang sekarang ada bukanlah yang pertama dan bukanlah yang terakhir. Tetapi semuanya tidak kekal dan ciptaan Allah.

Pemikiran Origenes bertitik tolak Firman ilahi, seperti sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman Allah dan Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya disamakan dengan Hikmat ilahi (In Yon 1,20). Firman/Hikmat ilahi itu sezat dengan Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan Allah. Allah (Bapa) dan Anak dikatakan dua "benda" (pragmata) oleh karena ada Diri (Contra Celsum 8,12). Anak disebut "sezat, sehakikat (homo-ousios) dengan Allah (Adamantius 1,2). Origenes untuk pertama kalinya dalam rangka kristologi memakai istilah "homo-ousios" itu, yang sudah lama ada, khususnya di kalangan para gnostik. Maka Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah (De Princ. 1 Praef 4). Namun demikian rupanya Origenes dengan istilah itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis dengan Allah, dengan arti itu "Allah" berarti "ilahi". Tetapi Firman itu rupanya tidak setingkat dengan Allah dan satu dengan Allah. Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam "emanasi" (kekal) dari Allah (Theognostus 1,2). Dan itulah kiranya sebabnya mengapa Origenes menyebut Firman Allah itu sebagai "Allah Kedua" (Contra Celsum 5,39), sama seperti Yustinus. Pemikiran Origenes subordinaionis". Firman itu "lahir" dari zat (ousia) Bapa (Theognostus), sehingga ada "dua benda" (pragmata), dua "diri" (hypostasis) yang mandiri. (Contra Cels 8,12).

Dengan Firman/Hikmat itu Allah menciptakan segala sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap. Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk (In Yoh 1:29.22). Dan dengan arti itu dunia sama kekal dengan Firman dan Allah sendiri (De Princ. 1,2.10). Lalu dalam langkah pertama diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita, gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu tingkat bawah dijadikan.

Firman/Anak Allah yang pra-existen itu benar-benar menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia lain (Dep Princ. 2,6.2). Origenes menekankan bahwa pada Yesus Kristus ada "dua kodrat", yang ilahi dan yang manusiawi (Contra Celsum 3,28). Kedua kodrat itu dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian Firman/Anak Allah "menghampakan diri" dan Ia serentak Allah (Ilahi) dan manusia. Dan berdasarkan dua "kodrat" itu pada Yesus Kristus ada juga dua rangkaian hal ihwal/perbuatan, yaitu ilahi dan yang insani (Contra Celsum, 7,17; 4,15). Dan kedua itu bersatu (Contra Celsum 1,66; 2,9; 6,41) sedemikian rupa, sehingga yang ilahi dapat dikatakan mengenai manusia dan yang insani dapat dikatakan tentang Allah (Anak/Firman) (De Princ. 2,6.6). Origenes menerima apa yang diistilahkan sebagai "communicatio ideomalum", artinya: dua rangkaian ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu serentak dikatakan mengenai subjek yang sama.
Misalnya: Allah (ilahi) menderita (insani) dan: manusia (insani) menciptakan (ilahi). Adapun sebabnya ialah: pelaku/subjek dua rangkaian perbuatan/ciri itu satu dan sama. Hanyalah pada Origenes halnya belum seluruhnya jelas, yaitu: Apakah menurut Origenes subjek/pelaku benar satu dan sama, meskipun ada dua rangkaian ciri? Sebab kadang-kadang orang mendapat kesan bahwa Origenes memikirkan halnya seolah-olah semacam campuran (Contra Celsum 1,66). Tapi bagaimanapun juga Origenes menekankan bahwa Yesus Kristus, Firman/Anak Allah benar-benar menderita, mati dan bangkit (Contra Celsum 2,16).

Menurut pendekatan Origenes Firman/Anak menjadi manusia dalam dua tahap. Terlebih dahulu Firman/Anak Allah bergabung dengan "jiwa" (akal/nous) yang sudah ada sebelum berbadan (bdk. De Princ. 3,3.5). Penggabungan Firman dengan "jiwa" itu terjadi pada saat jiwa itu dijadi-kan oleh Firman menurut "gambaran Allah" ialah Firman ilu sendiri. Jiwa Kristus selalu melekat pada Firman dan setia pada-Nya tanpa kekurangan apa saja. Origenes menegaskan bahwa jiwa itu selalu tertanam dalam Allah (melalui Firman), sehingga segala apa yang dibuat, dilihat dan dirasakan jiwa itu menjadi ilahi. Ia bersatu dengan Firman itu, seperti besi yang dile-takkan ke dalam api bersatu dengan api itu. Dan itulah sebabnya mengapa jiwa itu tidak berbalik dan tidak berubah (De Princ. 2,6.6). Jiwa dan Firman itu menjadi satu "roh" (pneuma) (De Princ. 4,4.4; 2,6.6). Dalam lang-kah kedua jiwa yang bergabung dengan Firman itu, bergabung dengan badan (De Princ. 2,6.3). Dengan demikian Firman/Anak Allah menjadi se-nasib dengan manusia yang malang dan berdosa. Itulah penghampaan diri Firman dan Anak Allah (De Princ. 1 Praef 4). Menurut Origenes kebaikan (dan kasih) Kristus paling nampak ilahi dan unggul ketika Ia merendahkan diri dalam ketaatan sampai mati, sampai mati di salib. Di situ lebih nampak daripada seandainya kesetaraan Anak dengan Allah dianggap tidak dapat ditinggalkan atau seandainya Kristus menolak menjadi Hamba demi kesela-matan dunia (In Yoh 1:32). Oleh karena jiwa Kristus tetap lekat seerat-erat-nya pada Firman, maka badan pun diikutsertakan dalam ciri ilahi Firman melalui persatuan dan pencampuran. Maka badan pun berubah menjadi ilahi (Contra Cels 3,41). Maka titik sambungan Anak dan Firman Allah ialah jiwa Yesus Kristus.

Dalam rangka yang sama Origenes memikirkan lebih lanjut karya pe-nyelamatan Kristus yang diwartakan tradisi. Manusia nyatanya ada dalam keadaan malang. Dan sebabnya ialah semua jiwa dalam kepra-adaan-nya bersalah (De Princ 1,8.1), entah bagaimana, dengan pelbagai tingkat (De princ 2,9.2). Sebab itu tidak semua manusia sama malangnya. Sebagai hukuman jiwa menjadi terkurung dalam badan. Dan badan dan jiwa tetap bermusuhan satu sama lain (De Princ. 3,4.1). Satu-satunya jiwa yang tidak berdosa dan selalu melekat pada Allah ialah jiwa Kristus (De Princ. 2,6.5). Hanya karena kasih-Nya kepada jiwa-jiwa lain Firman/Anak/Gambar Allah (bdk. Contra Cels 8,12) menjadikan diri-Nya senasib dengan manusia yang paling malang, yaitu dengan benar-benar mengalami kematian di salib.

Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia, menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan memperuncing prinsip karya pe-nyelamatan yang menegaskan: Apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak diselamatkan pula (Dial. Her. 7). Namun demikian jelas bahwa dalam pendekatan Origenes jiwa manusia dibebaskan dari badan (seada-nya). Sesuai dengan tradisi Origenes mempertahankan kebangkitan badan. Tetapi segera ia menambah: Badan kebangkitan itu lain sama sekali dengan badan sekarang (De Princ. 3,6.6; Contra Celsum 5,23).

Dalam rangka komentarnya atas Rm (3:8) Origenes dengan panjang le-bar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa, korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti orang berdosa dan Imam besar (In Yoh 6.53.273-274) menawarkan diri menjadi korban pendamaian. Hanya mesti diakui bahwa dalam pendekatannya ini Origenes menyatakan diri lebih setia pada tradisi daripada pada pemikirannya sendiri. Dalam kerangka pemikirannya sendiri gagasan "korban Kristus" itu tidak terlalu cocok.

Origenes juga mengambil alih suatu pikiran yang sudah ada (Yustinus) dan yang di kemudian hari menjadi laku sekali (Ambrosius), khususnya dalam rangka khotbah. Pikiran itu sangat mendramatisasikan kematian Yesus "demi untuk dosa kita" sebagai (uang) tebusan. Manusia (jiwa) karena dosanya menjadi budak dan milik Iblis. Iblis mendapat hak milik atas manusia. Adapun Kristus Ia "menebus" manusia dengan membayar sebagai uang tebusan darah-Nya (kematian-Nya) kepada Iblis, sehingga manusia menjadi bebas dari genggaman Iblis. Hanyalah Kristus sendiri diluput-Kan dari genggaman Iblis dan Maut melalui kebangkitan. Iblis sedikit banyak merasa dirinya tertipu. Sebab seandainya Iblis tahu bahwa Yesus Kristus (sebab Allah) akan bangkit, pasti tidak menerima bayaran itu. Ha-nya boleh dipertanyakan sejauh mana "drama" itu oleh Origenes dinilai se-bagai "teologi" atau sebagai retorik belaka. Pikiran dasar sebenarnya ialah: Dengan kematian-Nya Yesus Kristus yang kuasa mengalahkan kuasa Iblis dan Maut (In Yoh 1,32.233; 6,53.273-275). Itu merupakan suatu pra-andaian untuk proses penyelamatan yang direalisasikan Yesus Kristus.

Proses itu oleh Origenes dipikirkan l.k. sebagai berikut: Dengan men-jadi manusia Firman/Anak Allah pada dasarnya sudah mengilahikan manusia. Tetapi serentak Ia membuka jalan penyelamatan bagi manusia. Dalam hal itu Origenes meneruskan pikiran Klemens tentang Yesus Kristus sebagai pendidik dan guru. Dalam hal ihwalnya sebagai manusia Yesus Kristus, gambar Bapa, memperlihatkan kesempurnaan Bapa kepada manusia. Ia menjadi "contoh", model manusia yang langkah demi langkah diilahikan (Contra Celsum 8,17). Manusia yang percaya kepada Kristus menjadi peserta Kristus dalam kekuasaan, kekuatan Allah, dalam Firman dan hidup Allah. Berkat penyertaan tersebut dan pengetahuan tentangnya manusia naik kepada Bapa (Contra Celsum 6,68). Maka penyelamatan merupakan suatu proses yang maju dan berkembang, baik untuk tiap-tiap orang maupun untuk seluruh umat manusia, yang langkah demi langkah menuju penyelesaiannya (De Princ. 3,6.6).

Jelaslah kristologi dan soteriologi Origenes benar-nenar Yunani. Secara formal dan devosional Origenes mempertahankan realitas historis Yesus dan realitas kemanusiaan-Nya. Bagaimana tidak, mengingat Origenes menulis komentar-komentar atas Injil-injil sinoptik. Ia pun mempertahankan bahwa keselamatan mencakup seluruh manu.sia. Namun demikian Origenes begitu menekankan keilahian Yesus Kristus, sehingga — seperti pada Yoh — keilahian itu terus-menerus menembus kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan semacam kaca yang sedikit memadamkan sinar cahaya keilahian, sehingga dapat dipandang mata manusia. Dalam pendekatan Origenes manusia Yesus, Orang Nazaret, akhirnya diserap oleh Anak/Firman Allah (In Yoh 32,25.325). Juga keselamatan oleh Origenes terutama dipikirkan sebagai "keselamatan jiwa", keselamatan rohani. Origenes memang tidak menjunjung tinggi badan manusia. Ia misalnya hanya melihat jiwa (pra-existen) sebagai "gambar Allah'', seperti juga hanya Firman pra-existen menjadi gambar Allah. Dan dunia materiil oleh Origenes bisa disebut sebagai "kakus". Kendati kesetiaannya pada tradisi, Origenes akhirnya toh amat jauh dari Yesus, orang Nazaret, dan hidup-Nya di dunia ini di tengah-tengah manusia.

Usaha besar para teolog (dari Aleksandria), khususnya Origenes, belum juga berhasil menjernihkan suasana pemikiran sekitar Yesus Kristus. Belum ada suatu kesepakatan tuntas, kendati kemajuan yang tercapai. Bahkan pemikiran menjadi semakin simpang siur, Memang ada semacam kesepakatan dasar dalam kristologi. Kistologi dari atas sudah lama menjadi lazim. Pusat perhatian ialah Anak Allah, Firman Allah dalam kepra-adaan-Nya. Umum diterima bahwa Anak, Firman Allah, mempunyai ciri ilahi. Ia sezat, sehakikat (homo-ousios), berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang Mahaesa. Baiklah disadari bahwa yang di masa itu disebut Bapa, ialah Allah yang esa dan tunggal. Dan itu sesuai dengan pikiran Yunani yang sudah biasa menyebut Yang Ilahi, Allah, sebagai Bapa. Hanya sebutan Yunani itu kurang cocok dengan pandangan Alkitab. Dalam tradisi alkitabiah (Perjanjian Lama) Allah yang esa ('elohim) tidak begitu saja dapat disamakan dengan Yahwe, Bapa Israel, raja, orang benar.

Umum diterima pula bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia. Doketisme sudah diatasi. Tetapi tetap tinggal masalah: Bagaimana relasi antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan Allah yang mahaesa? Sejauh mana, dengan arti mana, Ia mesti disebut "sezat", "sehakikat" (homo-ousios) dengan Allah, ialah Bapa? Jika Yesus Kristus disebut "Allah" (theos = ilahi; Yesus tidak disebut "ho theos"), maka bagaimana keesaan Allah dapat dipertahankan? Dan selanjutnya, masih tetap tinggal masalah ini: Bagaimana relasi Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia Yesus, sehingga Yesus Kristus tetap hanya satu dan sama, tidak dua tokoh.

Dan pemecahan lama atas masalah-masalah tersebut, kecuali doketisme, masih tersebar luas. Monarkianisme (Noetus, Praexeas, Sabellius), bahkan dalam bentuk dinamik-adopsianis masih juga mendapat pembela. Itu terbukti oleh kasus Paulus dari Samosata, uskup di Antiokhia (± th. 270). Sejauh masih dapat diketahui, pikirannya l.k. sebagai berikut: Firman Allah, Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya memang "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Bapa, ialah Allah yang mahaesa. Tetapi Ia bukan suatu "pribadi" (hypostasis) yang mandiri, melainkan berupa suatu kekuatan ilahi, hikmat ilahi, firman dengan arti: perintah yang berdaya. Pada suatu saat kekuatan/hikmat ilahi itu turun atas Yesus, seorang manusia yang suci dan secara luar biasa dikurniai. Berkat kekuatan ilahi yang ada pada-Nya, di dalam-Nya, Yesus Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Versi monarkianisme (modalis), seperti disebarluaskan Sabellius (± th. 210) masih tetap laku juga. Anak Allah, Firman Allah hanya rupa, bentuk dari Allah yang mahaesa. Dalam Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia dan nampak di bumi. Dan itulah yang disebut "Anak Allah" atau "Firman Allah". "Bapa" hanyalah nama bagi Allah Pencipta, "Anak" nama bagi Allah yang nampak sebagai manusia dan "Roh Kudus" ialah nama Allah yang menguduskan (rahmat).

Modalisme dalam kasus Paulus dari Samosata berbentrokan dengan pendekatan yang didukung oleh pemikiran Origenes. Origenes memang mati-matian menolak monarkianisme, sehaluan dengan Tertullianus, Hippolytus dan Novatianus. Anak Allah, Firman Allah yang sezat/sehakikat dengan Allah (Bapa) sejak kekal ada, bukan sebagai kekuatan saja, melainkan secara mandiri, berbeda dengan Bapa, sebagai "hypostasis" dan "ousia” (kedua istilah ''hypostasis" dan “ousia” biasanya searti). Meskipun demikian Anak Allah, Firman Allah berasal dari Allah, yang karena itu disebut Bapa-Nya. Maka Anak Allah, Firman Allah memang ilahi, tetapi tidak setingkat dengan Bapa (Allah yang mahaesa). Ia disebut "Allah kedua", Pendekatan Origenes disuarakan oleh seorang imam dari Aleksandria, Malkhion, murid Origenes, pada suatu sinode uskup-uskup di Antiokhia (th. 268), yang menolak ajaran Paulus dari Samosata, oleh karena menyeleweng dari iman kepercayaan sejati, dari tradisi.

Tetapi bentrokan di Antiokhia tersebut sekaligus menyingkapkan suatu kelemahan yang ada pada kristologi Origenes. Terbawa oleh kosmologi dan antropologi Yunani (platonis) Origenes memikirkan inkarnasi dalam dua tahap. Firman Allah, Anak Allah yang sejak kekal ada dan sezat dengan Bapa bergabung dengan jiwa (nous, akal) Kristus, kemudian melalui jiwa Anak Allah itu bergabung dengan badan yang sebenarnya hanya semacam bungkus, penjara bagi jiwa (dan Anak Allah, Firman Allah). Pikiran Origenes tentang jiwa yang pra-existen itu umum ditolak, juga oleh pengikut-pengikut pikiran Origenes. Maka Malkhion (dan orang yang sehaluan, seperti Hymeneus, uskup Yerusalem) melompati saja langkah tengah tersebut. Mereka melihat hubungan antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia Yesus seperti hubungan antara jiwa (nous, akal) dan badan. Pada Yesus Kristus jiwa (nous) manusiawi diganti dengan Firman Allah yang pra-existen. Logika pikiran itu tidak dapat disangkal. Dalam antropologi Yunani (Plato, Stoa) akal (nous, logos) manusia merupakan penyertaan dalam akal (nous, logos) ilahi. Kalau logos sendiri menjadi manusia (seperti pada Yesus Kristus), mengapa masih mesti ada suatu "penyertaan" dalam "logos" yang sama? Badan Yesus hanya menjadi sarana, alat untuk Firman Allah, sehingga pelaku, subjek, hal ihwal dan perbuatan Yesus tidak lain kecuali Firman Allah. Dengan cara demikian nampaknya secara tuntas dipertahankan tradisi yang berkata bahwa Yesus Kristus satu dan sama, bukan dua tokoh, subjek. Tetapi jelaslah keutuhan kemanusiaan Yesus Kristus dikorbankan, malah apa yang dikorbankan justru unsur yang dalam antropologi Yunani membuat manusia menjadi manusia. Apa yang akhirnya muncul hanyalah suatu doketisme, versi baru. Namun demikian pemikiran Malkhion dan kawan-kawannya tidak boleh dikatakan kurang konsisten dalam rangka antropologi Yunani itu.

Maka tidak mengherankan bahwa kristologi seperti dipaparkan Malkhion menjadi kristologi yang dianut banyak pengikut Origenes, dan malah oleh mereka yang cukup tegas mengecam pikiran Origenes, seperti Eusebius, uskup Kaisarea, dan Methodius dan Olimpus. Eusebius (± th. 339) misalnya berkata (De eccl, Theol. 1,20.90) bahwa Firman Allah berada dalam daging dan menggerakkannya, selaku jiwa, dan daging menjadi alat bagi Firman. Pada saat Yesus mati Firman itu meninggalkan daging (dan turun ke dunia orang mati) (Dem.evang. 3,4.108). Apa yang dalam Alkitab dikatakan mengenai jiwa Yesus sebenarnya mengenai Firman Allah (Dem. evang. 10,8.503-504). Senada dengan penegasan Eusebius Methodius dari Olimpus (± th. 311) berkata bahwa Yesus seorang manusia yang penuh dengan Allah (Firman Allah) yang terbungkus dalam kemanusiaan. Daging merupakan sarana bagi Firman (Sympos. 3,4; 3,7). Yesus Kristus terdiri atas dua unsur (seperti manusia terdiri atas dua unsur), yaitu Firman dan daging (De res. 2,18).

Kristologi macam itu diistilahkan sebagai kristologi "logos-sarks" (Firman-daging). Rumus itu diambil dari Yoh 1:14 (Firman menjadi daging). Tentu saja Yoh 1:14 (yang barangkali berpolemik dengan doketisme) lain sekali maksudnya. "Daging" pada Yoh 1:14 berarti: eksistensi historis manusiawi yang sungguh-sungguh. "Daging" justru menekankan keutuhan eksistensi manusiawi Yesus Kristus. Yoh 1:14 tidak berkata tentang "kemanusiaan" dengan arti "kodrat", seperti yang dipikirkan filsafat Yunani, apa pula tentang "daging" sebagai satu unsur "kodrat" itu. Dan bukan Origenes yang melontarkan kristologi logos-sarks itu. Namun demikian pemikirannya sedikit membuka pintu ke arah itu.

Masalah yang pada sinode di Antiokhia tahun 263 diperdebatkan, yaitu: hubungan antara Firman Allah dan manusia konkret Yesus, orang Nazaret, tidak sampai dijernihkan secara tuntas. Masalah hanya ditangguhkan saja. Untuk sementara waktu pandangan Malkhion, yang sehaluan dengan arah pikiran Origenes, menjadi laku. Masalah tidak dipikirkan lebih lanjut, oleh karena perhatian para pemikir bergeser kepada soal lain, yaitu hubungan Firman Allah, Anak Allah yang pra-existen, dengan Bapa ialah Allah yang mahaesa. Untuk waktu yang lama justru soal itu menjadi hangat dan masalah-masalah lain hilang dari perhatian dan penjernihannya ditangguhkan.

Biang keladi pergumulan dan bentrokan baru itu ialah Arius (± th. 336) terdukung oleh seseorang yang mahir dalam filsafat Yunani (sofis) bernama Asterius. Arius seorang imam di Aleksandria, tetapi berasal dari Antiokhia dan di sana berguru pada Lucianus dari Antiokhia, pendiri perguruan tinggi teologi (katekese). Rupanya Arius juga berkenalan dengan Paulus dari Samosata. Maka bentrokan yang terjadi sekaligus bentrokan antara mazhab Aleksandria dan mazhab Antiokhia, yang bersifat rasionalis-positivis. Pun pula bentrokan di Antiokhia pada tahun 268 sudah diwarnai oleh dua aliran besar dalam teologi Kristen di masa itu.

Suatu unsur lain yang berperan besar dalam bentrokan yang dicetuskan Arius dan berlangsung lama itu ialah unsur politik. Menjelang akhir abad III dan awal abad IV umat Kristen oleh kaisar-kaisar Roma (Diokletianus, Decius, Valerianus) dilawan dengan kekerasan. Tetapi pada tahun 312 Kaisar Konstantinus berubah haluan dan malah mulai mendukung agama Kristen. Kaisar itu menyadari bahwa agama itulah yang mempunyai masa depan. Agama Kristen oleh Konstantinus dinilai sebagai unsur pemersatu negara. Itulah sebabnya Kaisar, yang menganggap dirinya sebagai "Imam Besar", tidak segan campur tangan dalam pertikaian panas pada umat Kristen, khususnya sekitar Yesus Kristus. Umat Kristen, pertama-tama para uskup, tidak menolak campur tangan kaisar serta "pertolongannya" itu. Maklumlah pada umat Kristen belum ada sebuah instansi pusat yang sungguh-sungguh berkewibawaan dan berwewenang, kalaupun peranan uskup Roma semakin tampil ke depan.

Pertikaian pada umat Kristen tersebut memperlihatkan juga bahwa pemikiran para umat Kristen agak kabur, simpang siur dan tidak menentu. Sekaligus pertikaian yang tercetus oleh Arius itu memperlihatkan bahwa kerangka pemikiran Yunani (platonisme) yang sudah lama dipakai pemikir Kristen kurang memadai untuk mengkonseptualkan dan secara linguistik merumuskan iman kepercayaan Kristen. Adaptasi iman kepercayaan Kristen pada alam pikiran Yunani menempuh saat krisisnya yang parah, jalan buntu.

Bagaimana persis pikiran Arius sendiri kurang diketahui dengan pasti. Semua tulisannya (yang hanya sedikit), khususnya "Thalia/Perjamuan" hilang. Hanya kepingan-kepingan terpelihara melalui kutipan-kutipan pada orang-orang lain yang menolak pendekatan Arius, khususnya Athanasius. Agaknya pikiran Arius l.k. sebagai berikut: Allah/Yang ilahi secara mutlak esa, tunggal, transenden, tak tercapai oleh manusia, dan menjadi asal usul segala sesuatu (Surat kepada Aleksander, 16). Sesuai dengan kosmologi Yunani Arius mengatakan bahwa Allah yang esa dan transenden itu menciptakan segala sesuatu secara bertahap (sebab tidak dapat langsung berhubung dengan dunia material) (Thai. 5). Ciptaan pertama dan utama ialah Firman Allah (yang tidak termasuk dunia ilahi dan pun pula tidak termasuk dunia jasmani) dan secara metafor Firman itu boleh disebut "Anak Allah" (Thai. 6). Firman itu tidak "sezat/sehakikat (homo-ousios) dengan Allah (Thai. 6), tidak secara langsung mengenal Allah, tidak sama dengan firman dan hikmat yang ada pada Allah (imanen) (Thai. 5). Firman tercipta itu tidak kekal dan abadi, meskipun ada sebelum dunia (dan waktu), dan dijadikan dari ketidakadaan, seperti makhluk-makhluk lain. Firman itu seluruhnya tidak mirip (an-homoios) dengan Allah. Pokoknya Firman itu ada awalnya, sehingga ada pernahnya Firman itu tidak ada (Thai. 5). Selanjutnya Firman, makhluk utama dan utama, sebagai "demiurg" dan penengah antara Allah dan jagat raya menciptakan dunia. Rupanya Arius juga menjelaskan inkarnasi Firman itu sebagai berikut: Firman itu bergabung dengan manusia Yesus Kristus begitu rupa sehingga mengganti jiwa (akal, nous, logos) manusiawi dan menjadi penggerak (subjek) kemanusiaan (daging) Yesus. Jadi Arius menjadi penganut kristologi Logos-sarks.

Jelaslah dalam pikiran Arius tersebut tergabung berbagai unsur yang sudah lama ada dalam alam pikiran Yunani dan sudah menyusup ke dalam pikiran Kristen sekitar fenomena Yesus. Keesaan dan transendensi mutlak Allah yang tidak dapat diketahui makhluk mana pun juga sudah menjadi pikiran l.k. umum. Itulah "Theologia Negativa" yang terkenal itu. Gnosis sudah lama menekankan bahwa tidak ada hubungan langsung antara Allah/Yang ilahi dan dunia/manusia. Mesti ada (beberapa) penengah antara Allah dan dunia. Gagasan bahwa jiwa (nous, logos) manusiawi pada Yesus Kristus diganti Logos ilahi, sudah lazim di kalangan para pengikut Origenes. Arius menjadi paling radikal dengan penegasannya bahwa Firman Allah, Anak Allah, adalah sebuah makhluk, ciptaan, dan tidak kekal-abadi. Dengan cara itu Arius secara "dasariah memisahkan Allah dari dunia dan manusia. Akibatnya: keselamatan sebagaimana secara tradisional diterima iman kepercayaan Kristen ditiadakan. Tetapi radikalisme Arius itu hanya memperuncing suatu pendekatan yang sudah lama tersebar luas pada umat Kristen, yaitu apa yang diistilahkan sebagai "subordinasionisme". Firman Allah/Anak Allah memang sezat/sehakikat dengan Allah yang esa sehingga benar-benar "ilahi". Namun demikian Firman tidak setingkat dengan Allah. Tetapi kalau demikian duduknya perkara, Firman itu masih boleh dikatakan Allah? Dalam pikiran Arius tidak ada pilihan lain kecuali mengatakan Firman itu adalah ciptaan, makhluk, sesuatu di tengah Allah dan makhluk-makhluk lain.

Memang pikiran Arius itu tidak serba baru. Ada perintisnya, meskipun belum begitu jelas dan tuntas. Dionysius (± th. 264), uskup Aleksandria dan pengikut Origenes, dalam melawan modalisme (Sabellius) pernah merumuskan pikirannya (ada tiga hypostaseis yang mandiri pada Allah yang mahaesa) begitu rupa, sehingga memancing reaksi. Orang berkesan bahwa Dionysius menyangkal kekekalan Anak Allah, bahwa memisahkan Anak dari Bapa dan menyatakan Anak sebuah makhluk yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain. Cepat-cepat Dionysius, a.l. atas desakan uskup Roma, Dionysius (± th. 268), membetulkan perumusannya. Dionysius dari Aleksandria, sehaluan dengan pikiran Origenes, sangat menekankan bahwa sejak kekal ada tiga (Bapak, Anak, Roh) hypostaseis yang mandiri yang memang sezat/sehakikat (homo-ousios). Tetapi "ousia" (zat/hakikat) itu oleh Dionysius disamakan dengan Allah yang mahaesa.

Maka pertanyaannya ialah: Apakah Dionysius tidak memperbanyak Allah yang mahaesa, sehingga ada dua (tiga) Allah serentak? Paling tidak uskup Roma, Dionysius (bdk. DS 112), merasa prihatin dan curiga terhadap pikiran Dionysius dari Aleksandria. Uskup Roma dalam hal ini jelas berguru pada Novatianus yang menekankan keesaan Allah dan uskup Roma kuatir kalau-kalau keesaan Allah dikurangi oleh pikiran uskup Aleksandria. Dan memang justru dalam hal ini nampak perbedaan pendekatan Barat/Latin dengan pendekatan Timur/Aleksandria. Barat menekankan keesaan Allah, sehingga mesti dijelaskan bagaimana kesamaan Anak, Bapa (dan Roh Kudus) dengan Allah tidak mengurangi kemandirian Bapa, Anak dan Roh itu secara modalis. Sebaliknya Timur menekankan kemandirian dan perbedaan Allah (Bapa) dengan Anak (dan Roh), sehingga tinggal dijernihkan bagaimana ketiga itu tetap satu dan Allah yang mahaesa tidak diperbanyak menjadi tiga Allah. Uskup Roma tentu saja, sesuai dengan tradisi, mempertahankan bahwa Allah adalah esa dan Anak (serta Roh Kudus) yang mandiri selalu bersatu dengan Allah. Tetapi ia pun tidak berhasil secara tuntas menjernihkan duduknya perkara, Sebab keterangannya bahwa ketigaan ilahi seolah-olah dipadatkan dan dikumpulkan dalam Allah yang mahaesa sebagai puncaknya tidak amat jelas.

Adapun Arius, ia secara radikal memecahkan masalah. Secara mutlak ia mempertahankan keesaan Allah, yang bagaimanapun juga tidak dapat diperbanyak atau dibagi-bagi. Konsekuensinya: Anak (dan Roh) bukan Allah, melainkan makhluk. Pikiran Arius sangat rasional dan jelas. Rahasia menjadi jernih, berarti: kepercayaan Kristen menjadi pikiran murni, cocok sama sekali dengan kosmologi dan antropologi Yunani. Soteriologi tidak atau kurang merepotkan Arius. Justru karena jernihnya itu tidak mengherankan bahwa pikiran Arius amat menarik.

Memang sampai dua kali Arius dinyatakan menyeleweng dari iman kepercayaan Kristen yang benar. Yaitu oleh suatu sinode uskup-uskup di Aleksandria (th. 318/320) dan di Antiokhia (th. 325). Sinode di Antiokhia itu diketuai Uskup Hosius dari Corduba, penasihat rohani Kaisar Konstantinus. Itu membuktikan keprihatinan Kaisar. Uskup, atasan Arius sendiri, yaitu Aleksander dari Aleksandria (± th. 326) yang oleh Arius diserang sebagai modalis (Sabellius), memimpin perlawanan. Aleksander sendiri termasuk mazhab Aleksandria dan menganut pikiran Origenes. Menurutnya Yesus Kristus, gambar Allah, Anak Allah, kekuatan, Firman dan hikmat Allah yang pra-existen, merupakan suatu "pribadi" (hypostasis) dan "kodrat" (physis) mandiri, berbeda dengan Bapa dan sehakikat dengan Bapa (bdk. Ep. ad Alex. Constant. 4; 9; 7; 12). Firman itu (sejak kekal) berasal dari Bapa, lahir dari-Nya. Tetapi belum jelas pula bagaimana hubungan Firman Allah dengan Allah yang mahaesa (Bapa). Sehaluan dengan Origenes Aleksander tetap subordinasionis. Anak Allah ditempatkan antara Allah yang Mahaesa dan ciptaan (Epist.ad Alex, Const 11), tetapi bukan di pihak ciptaan melainkan di pihak Allah.

Arius yang di Aleksandria dan Antiokhia ditolak, mendapat dukungan pada uskup-uskup lain, khususnya pada Eusebius, uskup Nikomedia (± th. 341) di Asia Depan, dan Eusebius (th. 320), uskup di Kaesarea, Palestina. Oleh sebuah sinode uskup-uskup di Nikomedia dan suatu sinode uskup di Kaisarea Arius "direhabilitasikan". Eusebius, uskup Kaisarea, menjadi pemimpin kelompok uskup-uskup yang mendukung Arius. Dan pandangannya tentang Yesus Kristus memang cukup senada. Menurutnya Allah secara mutlak esa dan tunggal dan tidak ada apa saja yang setingkat (De eccl. theol. 2,14). Yesus Kristus Gambar, Firman dan Anak Allah memang pra-existen (De eccl. theol 2,14) dan menjadi penengah dalam penciptaan jagat raya (De eccl. theol. 1,13.1). Firman itu pantulan cahaya abadi (Allah) dan sebagai gambar Allah boleh disebut Allah (ilahi), tegasnya: Allah kedua. Namun demikian Ia bukan Allah sesungguhnya, bukan "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Allah (Bapa) dan tidak sekekal (Dem.ev. 4,3.7; 5,1.29; 4,3.5). Pada ketika tertentu Ia berada berkat kehendak Allah yang khusus (Dem.ev. 4,3.7), meskipun tidak dijadikan dari yang tidak ada (nihilo) seperti makhluk-makhluk. Kalau Yesus Kristus dikatakan "satu" dengan Bapa (Allah) (Yoh 10:30) maka artinya ialah: Anak menjadi peserta dalam kemuliaan Bapa, mirip dengan orang-orang suci lainnya(De eccl.theol. 3,19).

Maka sekitar tahun 325 di kawasan timur negara Roma ada dua kelompok uskup (sekeliling Aleksander dari Aleksandria dan sekitar Eusebius dari Kaisarea) yang bertikai satu sama lain, saling menuduh dan saling mengutuk, Selanjutnya Kaisar Konstantinus yang memprihatinkan kesatuan negara mengumpulkan semua uskup (atas beaya negara) untuk mengadakan suatu sinode menyeluruh di kola Nikea, Asia Depan. Itulah konsili ekumenik yang pertama datam sejarah. Pada saat itu tentu saja belum dinilai secara demikian. Untuk pertama kalinya Gereja sebagai suatu kesatuan dan dengan seluruh kewibawaannya mencoba secara konseptual dan linguistik mengungkapkan secara tegas iman kepercayaan tentang (salah satu segi) Yesus Kristus.

Biasanya konsili Nikea dihubungkan dengan dogma mengenai Allah Tritunggal. Tetapi itu sebenarnya kurang tepat. Yang dipertaruhkan dan diperdebatkan bukan Allah Tritunggal, melainkan Yesus Kristus. Dogma Allah Tritunggal belum ada di masa itu, meskipun kepercayaan itu sejak awal dihayati. Konsili Nikea suatu konsili kristologis. Hanya konsili itu agak terbatas dalam pendekatannya. Sebab apa yang ditentukan ialah hubungan Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan Allah. Tentu saja tidak lepas dari Yesus Kristus secara menyeluruh. Hanya satu segi saja yang disoroti. Hubungan Anak Allah, Firman Allah dengan manusia Yesus tidak sampai dijernihkan, apa pula arti dan makna penyelamatan hal ihwal, penderitaan dan kematian Yesus. Dalam hal itu tradisi saja yang diteruskan tanpa dipikirkan lebih lanjut. Tentu saja ada kesadaran bahwa dalam seluruh debat dan pertikaian yang mau diakhiri konsili itu, keselamatan manusialah yang dipertaruhkan. Tetapi segi itu tidak dipertegas. Maksud konsili Nikea ialah menyaring dari kekaburan dan perbedaan pendapat yang berkecamuk, apa yang sebenarnya sejak awal (tradisi) diimani umat Kristen dan dalam praktek (khususnya ibadat baptisan) dihayati dan diakui. Memang syahadat yang dipakai dalam ibadat bukan teologi melainkan homologi. Hanya iman itulah mau diungkapkan dan dirumuskan konsili Nikea demi persatuan umat dalam iman. Tetapi oleh karena bergerak dalam alam pikiran Yunani (Plato, Arestoteles, Stoa), maka iman kepercayaan tradisional — dan dengan demikian Yesus Kristus sendiri — dirumuskan dalam alam pikiran itu dan dengan istilah teologis yang dipinjam dari alam pikiran Yunani itu, meskipun arti dan isi istilah itu diubah seperlunya.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda