MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Tuesday 19 July 2011

Muhammad & kristus 8

Lembaran-lembaran Qur’an Suci penuh dengan contoh seperti itu. Ibrahin disebut siddiq atau orang yang paling benar, namun Yesus tidak disebut demikian. Lagi, tentang dia dikatakan bahwa beliau dikaruniai “petunjuk”, tapi tidak adanya kata-kata seperti itu yang diterapkan terhadap Nabi-nabi yang lain bukan berarti mereka itu tidak mendapat karunia “petunjuk”. Mengenai Musa dikatakan:

“Dan Aku akan mencurahkan kecintaan kepada engkau dari-Ku, dan agar engkau dibesarkan di hadapan penglihatan-Ku” (Quran Suci, 20:39).

Namun Nabi-nabi yang lain pun dikarunia curahan kecintaan dari Tuhan meskipun kata-kata yang sama seperti itu tidak digunakan kepada salah seorang dari antara mereka di mana pun di dalam Qur’an. Dawud disebut awwab, atau yang kembali kepada Tuhan berkali-kali, tanpa berarti bahwa Nabi-nabi yang lain tidak patut mendapat sebutan seperti itu. Kenyataannya, Qur’an memperlakukan semua Nabi satu derajat, dan bila membicarakan salah seorang dari mereka sebagai memiliki akhlak mulia, itu berarti akhlak mulia itu pun bisa dijumpai di semua Nabi yang lain. Untuk mengetahui hal ini perlu diperhatikan katakata berikut ini:

“Wahai para Utusan, makanlah barang-barang yang baik dan berbuatlah kebaikan.  Sesungguhnya Aku Yang Maha-tahu apa yang kamu lakukan. Dan sesungguhnya umat kami ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kamu” (23:51-52).

Dari sini dibicarakan ketidak berdosaan para Nabi secara keseluruhan:

“Dan tiada Kami mengutus Utusan sebelum engkau melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tak ada tuhan selain Aku, maka mengabdilah kepada-Ku. Mereka berkata: Tuhan Yang Maha-pemurah memungut putera. Maha-suci Dia. Tidak malahan mereka hamba yang terhormat. Mereka tak mendahului Dia dalam pembicaraan, dan mereka berbuat sesuai dengan perintah-Nya” (Quran Suci, 21:25-27).

Jadi tidak dalam ucapan tidak pula dalam perbuatan yang dilakukan oleh para Nabi yang melanggar batas-batas Ilahi, dan ini bukti tuntas bahwa menurut Qur’an Suci para Nabi itu tak berdosa.

Sangka buruk Kristen terhadap ini adalah bahwa sementara Nabi Suci Muhammad disuruh berlindung dengan istighfar, sedangkan Yesus tidak disuruh apa-apa. Tidak terlihatkah bahwa Qur’an Suci tak mengakui perbedaan perlakuan terhadap Yesus? Kesalahan yang sama pun dilakukan dalam hal ini. Nuh, Hud, Salih, Syu’aib dan lain32 lainnya sama-sama tidak membicarakan disuruh berlindung dengan istighfar. Jadi tak terlihatkah bahwa para Nabi itu dipandang tak berdosa sementara lainnya tak dianggap begitu? Latar belakang yang disebutkan di atas tadi, tidak ada perbedaan perlakuan di antara berbagai Nabi. Tidak pula istighfar itu semata karena tak berdosa. Di satu pihak ditunjukkan, bahwa mencari ghafar (pengampunan) yang kata itu maknanya menurut Imam Raghib menutup sesuatu dengan sesuatu yang akan melindunginya dari kotoran. Maka istighfar itu menurut ahli kamus yang termasyhur tersebut, menunjukkan semata-mata mencari penutup atau perlindungan, yaitu perlindungan dari siksaan maupun perlindungan terhadap dosa. Lane juga menerangkan istighfar ini dengan makna dia mencari perlindungan Tuhan atau pengampunan atau maaf. Qastalani, salah seorang penafsir kitab Bukhari mengatakan, ghafar maknanya sitr yakni menutup, apakah itu antara manusia dengan dosanya maupun antara dosa dan hukuman. Maka tampaklah bahwa pengertian perlindungan ataupun penutup adalah pengertian dalam ghafar dan istighfar, dan kata-kata tersebut berarti perlindungan terhadap dosa maupun perlindungan terhadap hukuman. Semuanya termasuk dalam dua perkara: (1) melawan kesalahan yang telah dilakukan, berlindung dari hukuman; dan (2) melawan kesalahan yang tidak dilakukan tapi bagi orang yang bertanggungjawab, yakni perlindungan dari perintah itu. Kata-kata itu digunakan di dalam Qur’an Suci untuk kedua hal tersebut. Di sini saya akan berikan satu contoh saja dari dua makna tersebut. Di akhir Surat kedua do’a itu diajarkan: “Ampunilah kami dan berilah kami perlindungan dan karuniakanlah kasih sayang kepada kami” asal kata berilah kami perlidungan adalah ighfir lana, yang jika diterapkan sebagai ampunilah kami menjadi kurang berarti karena makna tersebut didahului oleh kata wa’fu anna. Tiga perbedaan di sini jelas sekali untuk do’a itu: (1) Ampunilah dosa-dosa yang telah dilakukan; (2) lindungi dari dosa terhadap seseorang yang bertanggungjawab; dan (3) kasih sayang atau karunia dari Tuhan.

Sebagaimana telah saya tunjukkan, sejak Qur’an Suci menjelaskannya dalam katakata yang terang prinsip ketidak berdosaan para Nabi, istighfar dalam perkara mereka hanya dapat diambil arti mencari perlindungan dari dosa bagi orang yang bertanggungjawab, dan dalam pengertian ini segenap Nabiyullah dan semua orang tulus berlindung pada istighfar yakni mereka mohon perlindungan Tuhan. Istighfar dalam pengertian yang sesungguhnya adalah berusaha jangan sampai terkena dosa. Orang yang teguh hatinya dalam berjuang melawan kejahatan suatu kali bisa saja jatuh, karena itu orang-orang tulus para hamba Tuhan selalu berlindung kepada Allah, dan di bawah perlindungan Ilahi itulah mereka benar-benar terselamatkan. Istighfar dalam pengertian ini benar-benar membuat seseorang dapat mencapai perkembangan tingkat rohani yang tertinggi, dan karena itulah para Nabiyullah yang telah mencapai tingkat itu selalu mencari perlindungan. Dan jika beberapa Nabi tidak disebutkan mencari perlindungan dalam istighfar, paling tidak para malaikat memohonkan istighfar untuk mereka semua. Di dalam Surat 40:7, para malaikat ditunjukkan berdo’a bagi orang-orang tulus seperti dalam kata-kata berikut: “Berilah perlindungan kepada orangorang yang bertobat kepada Engkau dan mengikuti jalan Engkau”, di sini digunakan kata ighfir. Kini semua Nabiyullah, dan sudah tentu Yesus di antara mereka, pasti termasuk orang-orang yang “mengikuti jalan Engkau”, dan ayat ini menunjukkan bahwa istighfar tidak saja dimohon oleh orang-orang tulus, namun juga oleh para malaikat demi keselamatan mereka. Dan dalam hal Yesus, nenek beliau disebutkan berdo’a untuknya jauh sebelum beliau dilahirkan dalam kata-kata yang sama: “Dan aku beri nama dia Maryam dan aku memohonkan untuk dia dan keturunannya dalam perlindungan Dikau dari setan yang terkutuk” (3:35), dimana kata I’azah atau u’idzah digunakan dalam arti istighfar yang makna keduanya sama saja yakni mohon perlindungan.

Sebelum meninggalkan masalah ini, perlu kiranya memberikan penerangan terhadap satu poin lagi. Seringkali dikatakan bahwa Nabi itu diperintahkan untuk ber-istighfar karena dhanb yang artinya berdosa. Bahkan sekalipun berdosa itu disebut dhanb, maknanya sama saja yaitu mohon perlindungan Ilahi dari dhanb bagi orang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Tapi sebenarnya dhanb itu istilah yang luas sekali maknanya dan tidak selalu menunjukkan kepada dosa. Imam Raghib memberitahu kepada kita bahwa kata dhanb makna aslinya adalah mengambil buntut sesuatu, dan ini diterapkan kepada setiap perbuatan yang konsekwensinya tidak dipertanggungjawabkan atau tidak baik. Menurut Lane, dhanb artinya dosa, kejahatan, kesalahan. Ini dikatakan berbeda dengan kata itsmun, apakah perbuatan itu disengaja atau dilakukan karena kealpaan, dimana itsmun khususnya dilakukan secara sengaja (lihat Lane Lexicon yang dikutip secara resmi). Maka nampaklah kata dhanbun adalah kata yang luas sekali artinya dan dapat digunakan sebagai dosa karena kelalaian jiwa, karena kekurangan akibat ketidak sengajaan, dan bahkan terhadap kekurangan dan ketidak sempurnaan yang bisa mengakibatkan kurang berkenan, dan penggunaan kata-kata ini di dalam Qur’an Suci, diterapkan kepada semua naungan ketidak sengajaan, dari kesalahan yang paling mendasar hingga kepada kecacatan dan ketidak sempurnaan sifat manusia bahkan orang yang sempurna pun tidak luput darinya, ini sesuai sekali dengan yang dikatakan kamus tadi. Dalam bahasa Inggris kata sin (dosa) tidak ada sama dengan kata dhanbun, dan kata fault (khilaf), lebih dekat kepada arti yang lebih luas.

Seringkali kita diberitahu oleh kaum Kristen yang tak bertanggungjawab yang selalu kontroversial bahwa Nabi Suci Muhammad menyembah berhala di waktu kanak-kanaknya dan karenanya beliau disebut seorang yang sesat di dalam Qur’an. Pernyataan ini tidak sedikit buktinya. Di satu pihak, ada kesaksian sejarah yang meyakinkan bahwa, sewaktu perjalanan awalnya ke Syria sewaktu menemani pamannya, beliau mengatakan benci sekali terhadap penyembahan berhala, maka ketika dua berhala diberi nama di hadapan beliau, beliau berteriak: “Demi Allah! Saya tak pernah membenci sesuatu sebenci terhadap memberikan sesajen kepada berhala”. Semasa kanak-kanaknya, banyak sekali cerita lucu yang berhubungan dengan pamannya, Abu Thalib yang sangat terkesan sekali pada Nabi karena akhlaknya yang mulia yang terdapat padanya, yang di hari belakangan bangsanya sendiri semuanya melawan beliau, ketika kaum Quraisy bangkit melawan beliau seorang diri, dan ini menjadi bukti kuat kebencian beliau terhadap penyembahan berhala dan segala sesuatu yang menyerupai itu. Abu Thalib memberitahukan saudaranya ‘Abbas bahwa beliau tak pernah menjumpai Muhammad berkata dusta, tidak pula pernah melihat beliau mengejek atau membodoh-bodohi orang (istilah umum mengenai keburukan); tidak pernah pula pergi bersama anak-anak lainnya untuk bersenang-senang. Bukan saja perilaku yang tak ada harganya ataupun perbuatan rendah yang tak pernah dijumpai pada diri beliau, tapi kemuliaan, ketulusan, rasa hormat, jujur dan akhlak mulia lainnya saja yang bisa dijumpai pada pribadi beliau hingga beliau menerima gelar Al-Amin (Yang paling amanah) dari kalangan sebangsanya.

Di mana pun di dalam Qur’an Suci tidak ada pernyataan atau kata-kata bahwa beliau itu sesat. Di pihak lain, jelas sekali dikatakan: “Sahabatmu tidaklah sesat, tidak pula menyimpang” (53:2). Kata dall tidak selalu berarti seseorang itu sesat. Lane memberitahu kita bahwa ucapan dalla yang kata daall adalah bentuk nominatif yang artinya dia bingung dan tak bisa melihat jalan. Dalam arti inilah yang disampaikan oleh kata dall di dalam 93:7, sebagaimana teksnya jelas sekali menunjukkan. Di sana ada satu pernyataan dari tiga:

“Bukankah Ia menemukan engkau seorang anak yatim, lalu Ia memberi perlindungan? Dan mendapatkan engkau tidak bisa melihat jalan dan ditunjukkanya? Dan mendapatkan engkau dalam kekurangan dan Ia mencukupi engkau dari kekurangan itu?” (93:6-8).

Dan sehubungan dengan tiga pernyataan tersebut khususnya dan dalam maksud yang sama, kita dapati tiga perintah:

Terhadap anak yatim kita tidak boleh menindasnya. Dan bagi orang yang bertanya, kita tidak boleh mencemoohkannya. Dan terhadap karunia Ilahi kita harus menyatakannya.

Ini terlihat jelas bahwa dalam pernyataan pertama, kita mempunyai pernyataan Nabi Suci sebagai anak yatim, menurut anjuran pertama tadi bahwa terhadap anak yatim itu kita tidak boleh menindas. Dan pada pernyataan ketiga kita dapati Nabi Suci dikatakan orang yang kekurangan dan karunia Ilahi memenuhi kekurangan itu, menurut anjuran ketiga tadi dia harus menyatakan karunia itu kepada dunia.

Penyajian itu memberi keyakinan bahwa pernyataan yang kedua dan anjuran yang kedua itu harus juga berhubungan satu sama lain. Nah anjuran kedua itu jelas sekali. Dikatakan bahwa seseorang yang memohon sesuatu jangan dicemoohkan, sementara pernyataan kedua mengatakan bahwa Nabi telah diberi petunjuk setelah mendapatkan pernyataan itu. Hubungan antara keduanya meyakinkan bahwa pernyataan itu adalah pernyataan seseorang yang meminta kebenaran agama, sebab konsekwensi dari itu adalah petunjuk yang benar. Jadi kenyataannya menyebutkan bahwa Nabi Suci, mendapat orang di sekeliling beliau dalam keadaan jahiliyah, dan beliau sangat berharap sekali dapat memperbaiki mereka, namun belum mendapat jalan bagaimana cara untuk mereformasi mereka, dan Tuhan sendirilah yang memberi petunjuk atau jalan tersebut kepada beliau. Allah mendapati Nabi sedang mencari-cari jalan, tapi beliau benar-benar belum mendapat jalan dengan usahanya sendiri, lalu Dia memberi petunjuk kepadanya dengan Cahaya Ilahi. Dan Qur’an Suci menjelaskan sendiri ketika difirmankan di tempat lain:

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepada engkau suatu Kitab yang membangkitkan ruh dengan perintah Kami. Engkau tak tahu apakah Kitab itu, dan tak tahu pula apakah Iman itu; tetapi Kami membuat itu cahaya, yang dengan cahaya itu Kami memberi petunjuk kepada siapa saja yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” (42:52).


No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda