MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Tuesday 19 July 2011

Muhammad & kristus 7

Penjelasan pertama mengenai gelar baik “dalam pengertian yang telah dikemukakan” tak ada bandingannya terhadap ganjaran dan pengakuan beliau. Orang tersebut memanggilnya baik “dalam pengertian dia harus menyebut setiap orang mulia Rabbi yang baik”. Sugesti yang amat berani! Dia adalah orang yang lebih baik dari sekedar kata-kata itu dan karenanya beliau menolak disebut baik yang seperti itu. Tapi apakah dalil ini menguatkan argumen yang diberikan Yesus Kristus sendiri? Yesus tidak memberikan argumen apa-apa, keterangan seperti itu sudah pasti rekayasa belaka, tapi bila Yesus sendiri memberikan argumen itu betapa tak berartinya argumen dan rekayasa melawannya. Argumen Yesus tentang baik itu tidak bisa diterapkan kepada siapa pun kecuali pada Tuhan, dan karena inilah tidak bisa diterapkan sekalipun kepada beliau sendiri, dengan kata lain, ganjaran dan pengakuan beliau adalah tak ada taranya dengan kata-kata baik tersebut. Tapi kita bertanya untuk menerima yang bertentangan dengan itu.

Penjelasan yang lainnya sama saja, menggelikan: “Sifat kemanusiaan Kristus, meskipun tanpa dosa selama menempuh hidupnya di bumi, tidak baik dalam pengertian yang sesungguhnya”. Penjelasan ini tidak ragu lagi dapat diterima jika Yesus Kristus dipandang sebagai manusia biasa; pengertian itu akan menjadi cocok dengan kata-kata, tak ada yang baik kecuali satu yaitu Tuhan. Tapi bila Yesus itu sendiri sebagai Tuhan, pribadi Ilahi, mengapa dia menolak untuk dikatakan baik dalam arti yang sesungguhnya, bahkan ketika itu pula memberikan alasan bahwa hanya Tuhanlah yang baik?

Sebenarnya, kata-kata yang dikutip di atas bertambah jelas dan memberikan kesaksian tuntas terhadap doktrin tak berdosanya Yesus yakni suatu usaha telah dilakukan sejak awal untuk merobah-robah Injil dan untuk menggantikan kalimat-kalimatnya, tetapi perubahan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Jadi di dalam Matius, sementara Authoris Version1 sama seperti Injil-Injil lainnya, Revised Version2 menunjukkan perobahan dan mencantumkan jawaban Yesus seperti ini: “Mengapa engkau menanyakan kepadaku tentang apa yang baik? Yang baik itu Satu”. Rupanya ada sedikit kebijaksanaan dalam usaha merobah, karena jawaban itu sangatlah canggung di mulut Yesus. Orang yang bertanya kepada beliau tentang kebaikan itu harus hidup abadi, dan dia katakan: “Mengapa engkau bertanya kepadaku tentang yang baik”. Jawaban ini artinya ialah bahwa dia harus bertanya kepada orang lain bukan kepada Yesus tentang perkara baik itu, atau dia harus menanyakan kepada Yesus bukan masalah kebaikan, tapi mengenai kejahatan. Makanya perubahan itu menjadi canggung, mungkin tujuannya demi menghindari kesimpulan yang jelas bahwa Yesus tidak berdosa, inilah kenyataan yang diakui.

Rev. J.R.Dummelow mengatakan:
 

“Versi yang benar adalah Markus dan Lukas. Penulis Matius (atau mungkin penyalin awal, karena ada alasan yang harus dipertimbangkan bahwa naskah Matius yang asli sesuai dengan Markus dan Lukas) merubah naskah itu sedikit, demi mencegah pembaca agar tidak menduga Yesus tidak baik”.

Keinginan untuk menjauhkan kata-kata yang menjadi rintangan di tengah jalan dalam menegakkan ketidak berdosaan Yesus mungkin bisa dipandang oleh seseorang sebagai seorang yang saleh, namun perbuatan merobah Tulisan Suci tersebut tidak ragu lagi adalah salah satu perbuatan kaum Kristen yang dicela Qur’an Suci.

Jika kitab suci tersebut tidak mengizinkan kita untuk menganggap Yesus Kristus benar-benar tak berdosa, kita akan lihat apakah mereka mengizinkan kita untuk menyebut para Nabiyullah yang lain berdosa. Keterangan dari Perjanjian Lama berikut ini harus kita pertimbangkan dulu. “Nuh sebagai manusia biasa dan sempurna di kalangan generasinya, dan Nuh berjalan bersama Tuhan” (Kejadian 6:9). Kepada Ibrahim Tuhan berkata: “Berjalanlah di hadapanku, dan engkau akan sempurna” (Kejadian 17:1). Kepada Musa dia berkata: “Engkau akan sempurna dengan Rabb Tuhanmu” (Ulangan 18:13) Bisakah ini diduga bahwa semua Nabi itu berdosa meskipun mereka itu keadaannya sempurna dan mereka berjalan bersama Tuhan? Yesus sendiri tidak meminta kepada kita untuk jadi sempurna “Bapakmu yang ada di sorga itulah yang sempurna” (Matius 5:48). Dan apakah kesempurnaan para hamba Tuhan yang tulus selain artinya mereka itu benar-benar tulus hatinya, tak pernah salah dalam hidupnya, tak berdosa dan tak pernah berbuat kerugian, dan meniru Tuhan dalam berbuat baik kepada orang lain? Sebenarnya, sempurna itu lebih berarti daripada sekedar tak berdosa. Manusia yang sempurna di hadapan Tuhan tidak hanya tidak berdosa saja tapi juga berbuat kebaikan utama. Dawud pun berbicara mengenai kesucian Tuhan:

“Berbahagialah orang yang hidupnya tidak bercela yang berjalan di dalam hukum Tuhan. Berbahagialah orang yang mengikuti perintahnya, dan mencarinya dengan sepenuh hati. Mereka juga tidak melakukan kejahatan, mereka berjalan di jalannya” (Mazmur 119:1-3).
 

Lagi:
“Mulut orang yang tulus berbicara bijaksana, dan lidahnya berbicara arif. Hukum Tuhannya ada dalam hatinya; langkahnya tak akan meleset” (Mazmur 37:30-31).

Kalau Perjanjian Lama membicarakan tidak berdosanya para Nabi maupun orang-orang tulus dalam kata-kata yang begitu jelas, Injil pun memberikan bukti yang sama. Kesaksian yang menyatakan ketidak berdosaan Zakaria dan isterinya Elizabeth tertulis seperti berikut:

“Dan keduanya orang tulus di hadapan Tuhan, berjalan di atas semua perintah dan aturan Tuhan tidak tercela” (Lukas 1:6).

Jika doktrin ketidak berdosaan Yesus didasarkan atas ucapan Yohanes sendiri, “kamu yakin aku berdosa” , kata-kata yang jelas mengenai Zakaria dan Elizabeth bahwa mereka itu tidak tercela pasti akan memperkuat dasar ketidak berdosaan mereka. Karena Yesus hanya mengaku tak ada orang yang bisa menuduhnya berdosa, maka orang itu bisa berdosa di hadapan Tuhan meskipun tak ada orang lain bisa menuduhnya berdosa. Di pihak lain, orang yang dikatakan oleh Tuhan bahwa ia tidak tercela bisa jadi ia tidak berdosa, karena alasan inilah anak kecil yang lahir dari kedua orang tua tak berdosa itu dikatakan di dalam Injil “berisi atau dikuasai oleh Ruhul Kudus sekalipun datang dari rahim ibunya” (Lukas 1:15).Kini Yesus menerima Ruhul Kudus pada usia tigapuluh tahun ketika beliau dibaptis di tangan Yahya Pembaptis, tapi ternyata Baptis itu dipenuhi Ruhul Kudus sejak dari kandungan ibunya. Yang mana dari dua perkara besar ini yang dikatakan tidak berdosa?

Pertimbangan kitab suci Kristen menunjukkan secara tuntas bahwa sementara mereka menolak menyebut Yesus tak berdosa, mereka pun mengatakan bahwa para Nabi yang lain maupun orang-orang tulus itupun sempurna dan tak tercela. Dalam kadar tertentu, Kristen ini tidak mempunyai dasar samasekali untuk menjelaskan setiap derajat ketidak berdosaan Yesus Kristus yang tak bisa diterapkan kepada Nabi-nabi yang lain berdasarkan kitab suci mereka sendiri.

Kini kita menuju pada Qur’an Suci. Persoalan pertama yang akan kita jawab adalah: Apakah Qur’an Suci membuat perbedaan antara Yesus Kristus dengan para Nabiyullah lainnya mengenai ketidak berdosaan mereka? Sedikit pun tidak. Semua boleh dikatakan dalam membicarakan Yesus itu menggunakan kata-kata yang halus, ini semua karena agama Islam baik terhdap agama-agama lain, dan selalu membicarakan Nabi-nabi yang lain dengan penuh hormat, yang kebanyakan mereka dicemoohkan pada waktu kedatangannya. Qur’an membicarakan Yesus sebagai “Ruh dari-Nya”, itu bukan karena beliau itu bersifat Ilahi, jelas sekali di mana saja bila membicarakan beliau, beliau itu tidak lebih dari manusia biasa, tapi karena para musuhnya selalu mencomoohkan beliau dengan menganggap dilahirkan tidak syah. “Ruh dari Tuhan” dalam pengertian ini berarti beliau berjiwa suci, itu saja, yakni seorang yang dilahirkan dari keturunan yang perkawinannya syah. Tuhan adalah sumber utama kesucian, dan jiwa Yesus dikatakan datang dari-Nya, ini maknanya, sekali lagi, beliau berjiwa suci dan beliau tidak berjiwa Setan bukan seperti dituduhkan oleh kaum Yahudi karena beliau dilahirkan secara tidak syah.

Mengenai penggunaan kata Kalimatuhu, yakni Ucapan-Nya banyak sekali disalah artikan. Arti dari kata itu sederhana sekali karena beliau dilahirkan sesuai dengan ramalan, yakni sesuai dengan ramalan yang diwahyukan kepada Maryam, kutipan di bawah ini menjelaskan:

“Ketika malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberi kabar gembira kepada engkau dengan firman dari-Nya (tentang seorang) yang namanya Masih, ‘Isa anak Maryam” (3:44).

Terlihat bahwa menggunakan kedua kata yang ditunjukkan di atas itu tidak ada arti lain bagi kita kecuali menunjukkan kesimpulan bahwa Yesus itu tidak berdosa dalam arti beliau dilahirkan secara syah. Difirmankan mengenai Adam: “Setelah Aku sempurnakan, lalu aku tiupkan ruh-Ku” (15:29). Dan ruh yang ditiupkan kepada Adam juga ditiupkan kepada anakanaknya:

“Dan Ia mengawali terciptanya manusia dari tanah. Dan Ia membuat keturunannya dari sari air yang hina. Lalu Ia sempurnakan, kemudian Ia tiupkan ke dalamnya ruh-Nya dan membuat untukmu telinga dan mata dan hati” (32:7-9).

Dalam dua hal doktrin Kristen palsu yang mengajarkan bahwa kejahatan sudah tertanam dalam diri manusia tidak dibenarkan dalam penjelasan mengenai ruh Adam atau jiwa setiap manusia yang datang dari Tuhan. Ruh Adam sudah bersih secara alami dan begitu juga ruh setiap manusia, karena semuanya berproses dari sumber yang suci, yakni dari Tuhan sebagai sumber utama kesucian, dan kejahatan itu tidak dilahirkan di dalam ruh; dengan kata lain, di sana tidak ada Dosa Asal. Setiap orang yang dilahirkan ke dunia ini, katakanlah sejak Adam hingga sekarang, dalam keadaan suci dari dosa. Hanya dengan melakukan perbuatan jahatlah hadiah atau karunia kesucian dari Tuhan itu bisa ternodai. Secara fitrah manusia itu suci; dengan perbuatannyalah ia bisa tidak suci. Karenanya tidak ada seorang pun yang tidak berdosa semata-mata karena dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa. Begitu pula bagi Yesus, salah sekali untuk menarik kesimpulan ketidak berdosaannya semata-mata dari kenyataan yang disebut “ruh dari Tuhan”. Setiap jiwa manusia adalah ruh dari Tuhan, tapi tidak membawa kita lebih lanjut selain ia dilahirkan tak berdosa. Untuk menunjukkan bahwa dia tetap tak berdosa, sesuatu lebih diperlukan lagi.

Begitu pula, Yesus tidak bisa dikatakan tidak berdosa kalau semata-mata karena dia dilahirkan sesuai dengan ramalan Ilahi. Sebagai makhluk Tuhan, dia adalah firman Tuhan juga, setiap makhluk Tuhan adalah firman Tuhan. Qur’an jelas sekali menerangkan ini:

“Sekiranya lautan itu tinta untuk (menulis) firman Tuhanku, niscaya lautan itu akan habis sebelum habis firman Tuhanku, walaupun Kami datangkan lagi yang sama dengan itu untuk ditambahkan” (18:109).

Dan di tempat lain yang berhubungan dengan itu jelas sekali bahwa yang dimaksud firman
Tuhan itu artinya hanyalah ciptaan Tuhan:

“Apa yang ada di langit dan di bumi kepunyaan Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-cukup sendiri, Yang Maha-terpuji, dan jika semua pohon yang ada di bumi itu pena, dan semua lautan dengan ditambah tujuh lautan lagi, kalimah Allah itu tak akan habis. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-perkasa, Yang Maha-bijaksana.  Kejadian kamu dan kebangkitan kamu itu hanyalah seperti satu jiwa. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha-mendengar, Yang Maha-melihat” (31:26-28). 

Karenanya Yesus menikmati persamaan hak dalam mengaku tak berdosa dengan disebut firman Tuhan.

Masalah yang sebenarnya perlu dipertimbangkan, adalah apa yang telah dikatakan oleh Qur’an Suci terhadap sikap hidupnya. Apakah ia mengatakan bahwa dia menuntun hidupnya dalam keadaan tak berdosa? Apakah ia mengatakan bahwa kehidupan Nabi-nabi yang lain tidak dituntun dalam keadaan tak berdosa? Tidak ada perbedaan yang bisa ditemui di mana pun di lembaran-lembaran Kitab Suci itu. Dikatakan mengenai sikap hidup Yesus:

“Dan agar aku berbakti kepada ibuku; dan Ia tak membuat aku seorang yang sombong, yang celaka” (19:32).

Qur’an Suci dalam kalimat itu hanya menjelaskannya agar jangan sombong terhadap ibunya yang mana ini tercantum di dalam kisah Injil. Namun Qur’an pun membicarakan Nabi-nabi lain dengan pujian yang tinggi. Qur’an berfirman tentang Yahya Pembaptis:

“Dan Kami berikan hikmah kepadanya tatkala ia masih kanak-kanak, dan Kami berikan kepadanya sifat baik hati dan kesucian dari-Ku. Dan ia amatlah patuh. Dan ia berbakti kepada ayah ibunya, dan sekali-kali tak sombong dan durhaka” (Quran Suci, 19:12-14).

Jelas sekali di sini kita diberitahu bahwa Yahya tidak saja dikaruniai kesucian tapi juga beliau taat sekali, yakni tak pernah melakukan perbuatan dosa, dan jelas sekali beliau dikatakan tak berdosa, suatu kehormatan yang tidak diberikan kepada Yesus Kristus. Tidakkah menakjubkan bahwa Qur’an Suci menyebut Yahya dan Yesus bersama-sama, dan sementara itu masih membicarakan salah seorangnya tidak berdosa, sedangkan yang lainnya hanya dikatakan bahwa dia tidak kurang ajar terhadap ibunya? Mengapa ia tidak membicarakan bahwa Yesus pun tidak berdosa? Apakah kealpaan ini semata-mata karena Qur’an Suci tidak melihat Yesus sebagai pribadi yang tak berdosa? Tentu saja tidak. Yang benar adalah apa yang dikatakan Qur’an Suci terhadap salah seorang Nabi dalam hal itu adalah benarnya semua Nabi. Tak mungkin bahwa Yahya harus berdosa, sementara Nabinabi yang lain berdosa. Tapi ia memilih Yahya sebagai contoh dalam hal ini, dan bukan Yesus, sebab para pengikut Yesus telah begitu jauh mengangkat beliau kepada derajat Ketuhanan, dan ini sebagai peringatan terhadap kesalahan mereka yang tidak membicarakan sikap Yesus dalam kata-kata pujian seperti halnya terhadap Yahya.




1. Revisi Alkitab bahasa Inggris , yang dilaksanakan atas perintah James I, diterbitkan tahun 1611, dan banyak yang dipakai oleh kaum Protestan. (Kamus Teologi Inggris-Indonesia – Henk ten Napel, BPK Gunung Mulia 1999.
2. Revisi dari Alkitab Authorized Version yang diterbitkan tahun 1885 di Inggris (idem).

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda