MENURUT ANDA, BLOG INI ?

Tuesday 19 July 2011

Muhammad & Kristus 1

Salah satu prinsip dasar ajaran Islam adalah beriman kepada segenap Nabi di seluruh dunia, suatu keimanan yang pada hakikatnya ialah sebelum datangnya Nabi Suci Muhammad saw., telah dibangkitkan para Nabi di berbagai bangsa. Perubahan besar dengan datangnya Nabi teragung bangsa Arab menyebabkan tugas Nabi nasional diambil alih oleh Nabi Besar Dunia, hal ini demi terciptanya tatanan baru untuk mempersatukan segenap umat manusia. Keimanan kepada segenap Nabi di seluruh dunia yang menjadi dasar keimanan Islam tersebut tidak dipelajari oleh kebanyakan kaum Muslimin dalam hal perbandingan tingkat derajat di antara mereka, sebab perbandingan itu, kata mereka, bisa menimbulkan kebencian. Kenyataannya, mereka merasa dilarang oleh Nabi sendiri untuk melakukan sesuatu yang tak ada gunanya agar masalah tersebut jangan sampai menimbulkan perdebtan yang memanas, mungkin hal itu bisa merendahkan derajat seseorang Nabi. Tapi Qur’an Suci menyatakan dengan kata-kata yang jelas bahwa di antara para Nabi itu ada berbagai tingkat derajat kemuliaan. Firman-Nya:

“Kami membuat sebagian Utusan itu melebihi sebagian yang lain” (2:253).

Karena itu perlu dinyatakan bahwa seseorang Nabi itu sudah tentu memiliki kelebihan dari yang lainnya, dan hal ini tidak bisa dikatakan sebagai suatu penghinaan. Sudah tentu para Nabi itu semuanya manusia sempurna yang dibangkitkan untuk memperbaiki umat manusia, tapi tak diragukan bahwa mereka memiliki keutamaan yang berbeda satu sama lain tergantung pada sifat pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka dan tergantung pula pada keadaan suatu kaum dimana mereka diutus ke sana. Dalam hal inilah, kami mengangkat permasalahan yang sering dikemukakan oleh kaum Kristen yang suka membandingbandingkan antara kebesaran Nabi Muhammad dengan Kristus, ini merupakan kewajiban yang penting untuk dikemukakan meskipun terasa berat, karena banyak kesimpulan dari Kitab Suci Islam yang kerap disalahgambarkan dan disalahmengertikan oleh mereka.

Kesalahan para penulis Kristen pada umumnya sudah diakui bahwa mereka selalu menekankan kata-kata kepercayaan, bukan menekankan sesuatu untuk diamalkan dengan arti yang hakiki, mereka selalu menonjolkan bentuk lahiriahnya saja dan bukan hakikatnya. Bagi mereka, yang dibesar-besarkan hanyalah puji-pujian yang semakin menggunung pada diri seseorang, dan paling banter hanya cerita yang serba ajaib dan aneh-aneh saja dan bukan kewajiban yang harus diamalkan olehnya. Karena inilah, jika dipersoalkan, mereka selalu menyangkal, karena Yesus sendirilah yang mengatakan seperti itu, sedangkan Muhammad saw. tidak, atau mereka berdalih karena pendiri agama Kristen itu banyak sekali melakukan mu’jizat-mu’jizat sedangkan pendiri Islam tidak. Di lain pihak, Qur’an Suci selalu mengemukakan sikap yang berbeda terhadap permasalahan ini, yaitu menekankan tentang “amal perbuatan” yang menjadi tema utamanya, bukan pada kata-kata kepercayaan atau keajaiban-keajaiban yang aneh-aneh. Qur’an membicarakan keagungan Nabi Suci bukan dalam pujian kosong, tidak seperti yang dibicarakan oleh Yesus seperti dikemukakan dalam versi Injil, tapi melukiskan perhatian yang teramat besar terhadap perobahan, yakni perobahan ke arah hidup yang lebih baik lagi dan lebih tinggi lagi di dunia ini. Qur’an tidak selalu membicarakan mu’jizat-mu’jizat beliau meskipun kenyataannya mu’jizat beliau itu jauh lebih besar, namun hal itu hanya dicantumkan dalam berbagai himpunan Hadits saja, yang faktanya, bahwa perkara mu’jizat seperti itu bukan perkara utama tapi perkara sekunder jika dibandingkan dengan mu’jizat-mu’jizat yang lebih besar dan lebih utama lagi. Apa mu’jizat utama itu? Jelas, mu’jizat yang besar itu adalah menanamkan kebaikan dan mencabut segala keburukan di dunia, yakni mu’jizat yang bisa mengangkat derajat manusia dari keadaan hina-dina dan bobrok, lalu mereka diangkat ke tingkat derajat kemuliaan yang tinggi yang bisa mereka capai. Dan karenanya mengapa mu’jizat-mu’jizat itu ditempa dalam arti yang hakiki. Mu’jizat-mu’jizat itu tidak melayani maksud yang bukan-bukan, dan semua itu tidak berakhir begitu saja tapi bahkan mengandung makna untuk lebih meningkatkan rohani penghuni dunia ini secara bergenerasi. Untuk itulah mengapa Qur’an Suci tidak membicarakan Nabi Suci yang muluk-muluk, dan tidak juga menekankan perkara mu’jizat yang aneh-aneh, tapi selalu membicarakan berulang-ulang tentang perobahan yang menakjubkan yang ditempa, suatu transformasi yang unik dan tiada duanya dalam sejarah dunia hingga penulis artikel Koran (Qur’an) di dalam Encyclopaedia Britannica (edisi ketujuh) membicarakannya sebagai “Nabi yang tersukses di antara segenap Nabi dan agama yang ada”, suatu pengakuan yang lebih berbobot dari sekedar kata yang muluk-muluk maupun sekedar sejarah keajaiban yang aneh-aneh seperti yang diceritakan di dalam Injil.

Perlawanan kaum Kristen masa kini, bisa jadi mereka terus memutar otak mencari jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Mereka selalu mengunggulkan Kristus dari Nabi-nabi lainnya dengan berdalil bukan saja berdasarkan Injil sendiri, tapi juga berdasarkan Qur’an. Sudah tentu itu praduga yang sangat aneh! Qur’an, di satu sisi, menyangkal tuduhan palsu yang dikemukakan oleh para penipu tersebut, di sisi lain, sebagai saksi pendukung pengakuan Yesus Kristus yang luar biasa itu. Posisi kontroversial Kristen di sini benar-benar sukar untuk dijelaskan, tapi kita tak perlu terkejut karena perkara yang lebih penting lagi yang berhubungan dengan seluk beluk agama Kristen itu sendiri memang tak bisa dijelaskan. Dikatakan bahwa Qur’an Suci memuji-muji Yesus Kristus. Memang, namun bersamaan itu pula Qur’an menjelaskannya bahwa beliau itu hanya salah seorang di antara sejumlah besar Nabi Bani Israel yang mengikuti Musa; Qur’an mengatakan bahwa beliau hanya seorang Rasul yang risalahnya terbatas bagi satu bangsa saja:

Dan seorang utusan bagi kaum Bani Israel” (3:48)

Penjelasan itu cukup membuktikan bahwa Qur’an Suci tidak secara penuh menempatkan beliau (Nabi ‘Isa) dalam posisi yang terunggul dari Nabi-nabi lainnya, dengan kata lain bahwa beliau bukanlah Nabi bertaraf dunia yang risalahnya jelas dinyatakan untuk segenap bangsa. Tapi apakah kaum Kristen tidak bisa melihat, mengapa Qur’an Suci menghargai Nabi bangsa lain? Sebenarnya, dalam hal ini kaum Kristen tak bisa membedakan antara Injil dan Qur’an Suci. Risalah Nabi Isa hanyalah untuk kalangan Bani Israel saja dan karena itu beliau tidak melakukan apa-apa seperti Nabi-nabi yang lain; risalah Muhammad saw jelas sekali untuk segenap bangsa di seluruh dunia dan oleh karenanya Qur’an Suci membicarakan segenap Nabi-nabi di dunia. Dan lebih-lebih lagi bahwa mengimani segenap Nabi itu, penting sekali untuk mengajarkan rasa hormat terhadap mereka semua. Nah, sewaktu kedatangan Yesus Kristus dan ibunya yang sosok pribadi keduanya adalah orang suci, tapi keduanya sangat dibenci oleh bangsa Israel, padahal keduanya itu bangsa Israel sendiri. Maryam dituduh secara keji sebagai seorang pelacur, dan puteranya dicaci karena dituduh sebagai anak haram jadah hasil dari perzinahan dan juga dianggap sebagai seorang pendusta. Justru Qur’an Sucilah yang mengenyahkan tuduhan keji semacam itu dan menekankan prinsip utama bahwa para Nabi itu adalah orang-orang suci. Mereka yang amat memuji-muji secara berlebihan terhadap Nabi Isa dan ibunya dengan mengambil nara sumber dari Qur’an Suci harus ingat bahwa tuduhan jahat bangsa Yahudi terhadap kedua orang suci itu harus juga menyebutkan kebajikan dan kemuliaan mereka karena pada kenyataannya Nabi-nabi yang lain tidak dicela dengan sebutan sekeji itu tanpa perlu menyebut-nyebut kebaikan mereka.

Karenanya, jika seorang Kristen tidak konsisten dengan menganggap Yesus Kristus itu lebih unggul dari Nabi Suci berdasarkan kitab yang mereka tuduh sebagai karya seorang pendusta, ini pun masih tetap aneh karena pernyataan yang tak ada dasarnya itu seringkali menggambarkan perihal Yesus itu tidak hanya bertentangan dengan Qur’an Suci, tetapi bahkan bertentangan pula dengan Injil itu sendiri sebagai kitab suci agama Kristen, menuduh palsu dan kesimpulannya diambil dari kata-kata Qur’an Suci yang tidak hanya asing bagi pandangannya, namun juga dipungkiri oleh Injil. Dalam meliputi masalah ini karenanya saya akan menunjukkan kepada keduanya, yakni pada Qur’an dan Bebel, khususnya Injil. Tetapi mengenai keabsahan terhadap perkara yang akan dikemukakan dari dua sumber ini, di sana ada dunia dan situasi yang berbeda karena Injil itu ditulis dan disalin berulang-ulang dan ini menjadi penting demi menerima pernyataannya dengan penuh kehati hatian.

Adapun mengenai keotentikan Qur’an Suci, saya tidak perlu mengulur-ngulur waktu lebih lama lagi kepada para pembaca. Dari satu sisi dunia ke sisi lainnya, dari Cina yang ada di Timur Jauh hingga ke Maroko di Ujung Barat, dari kepulauan di Lautan Pasifik yang berserakan hingga ke gurun pasir yang maha luas di Afrika, Qur’an adalah satu, tidak ada satu salinan pun yang berbeda yang bisa dijumpai di setiap orang yang memilikinya di antara empatratus juta lebih kaum Muslimin. Padahal di sana selalu ada perbedaan paham, tetapi tetap memiliki satu Qur’an. Perselisihan politik dan perbedaan ajaran tumbuh berbeda selama seperempat abad setelah wafatnya Nabi Suci, tapi dari mereka itu tak pernah keluar satu suara pun yang melanggar kesucian naskah Qur’an Suci. Sedikit pun tidak dikenal ada perbedaan dalam teksnya. Bahkan Dr. Mingana sekalipun tidak bisa menunjukkan kesalahan akibat kelalaian di dalam menyalin ataupun mentranskripsi oleh tangan yang tak bertanggungjawab yang ia nyatakan di dalam bukunya yang berjudul: “Peninggalan dari tiga Qur’an Kuno”. Dan keaslian salinan naskah tersebut dibuat dan diedarkan dibawah perintah tiga khalifah Nabi Suci tetap terjaga disajikan hingga hari ini. Di sini pendapat seorang tukang kritik yang memusuhi mengatakan:

“Salinan naskah Utsman yang sampai ke tangan kita sekarang tak berubah … perselisihan dan pertikaian golongan membangkitkan mereka untuk membunuh Utsman sendiri dalam masa seperempat abad sejak kematian Muhamad, bahkan sejak perpecahan dunia Muhamad. Namun hanya berlaku Satu Qur’an di antara mereka; dan semua serempak menggunakan kitab suci yang sama di setiap zaman hingga kini tak ada bukti yang dapat disangkal bahwa sekarang pun ada di hadapan kita teks yang disediakan oleh perintah Khalifah yang tak beruntung itu. Mungkin di dunia ini tidak ada karya lain yang selama duabelas abad masih tetap murni teksnya. (Muir: “Life of Mohamet”).(Huruf italik oleh saya, penulis).

Muir lebih jauh menunjukkan bahwa salinan yang dibuat oleh Utsman diyakini sebagai reproduksi dari salinan yang dibuat oleh Zaid hanya enam bulan setelah wafatnya Nabi Suci dan edisi Zaid tersebut diyakini salinan yang diwahyukan kepada Nabi Suci, ia memberikan sejumlah alasan untuk meyakini hal itu, dan kesimpulan yang Muir kemukakan, dia menyetujui pernyataan Von Hammer: “kami yakin bahwa Qur’an benarbenar ucapan Muhammad sebagaimana umat Muhammad yakin bahwa itu adalah firman Ilahi”.

Cerita dan penulisan serta penyalinan Injil sungguh berbeda. Awal mula adanya naskah didapat pada tahun 1859 dalam bahasa Yunani, yang kita diberitahu, bahwa tulisan itu dibuat di pertengahan abad keempat setelah Yesus Kristus tiada. Yang ditemukan di Gunung Sinai di Biara St. Catherine yang dikenal sebagai Siniaticus. Yang lainnya dikenal sebagai Alexandrinus yang kini ada di Museum Inggris terbilang dari abad kelima. Yang lainnya lagi disebut Vatikan terbilang dari abad keempat tapi tak lengkap. Dan semua itu dikatakan sebagai tiga naskah utama. Terhadap kondisi dan keberadaan ketiganya itu akan saya kutip, bukan kritikan, namun datang dari seorang komentator Bebel, Rev. J.R. Dummelow:

“Pertama-tama, para penulis Injil menyampaikan perkataan Yesus dalam bahasa Yunani (meskipun mungkin mereka memiliki beberapa sumber bahasa Aramaik) yang sebagian besar mungkin Yesus berbicara dalam bahasa Aramaik. Baik para penulisnya maupun salinan-salinan yang mereka catat berlangsung di luar Gereja permulaan yang mereka ketahui”.
Begitu pula yang diterapkan oleh St. Paulus. Surat-suratnya, yang kini begitu berharga, hanyalah risalah yang sengaja ditujukan untuk Gereja-gereja. Yang pertama-tama disalinkannya tidak dikenal sebagai barang ‘suci’ dalam pandangan kita.
Bahkan di abad-abad terakhir pun kita tak dapat mengamati dengan teliti terhadap kesucian naskah yang bercirikan perubahan dari Perjanjian Lama. Salinan-salinan tersebut seringkali tidak sesuai dengan naskahnya, tapi dia cuma mengira-ngira dari situ. Ia dipercaya berubah-rubah ingatan, atau ia membuat naskah itu sesuai dengan pandangan sektenya sendiri. Di samping itu, sejumlah besar salinan tetap dipelihara.  Lebih-lebih versi yang disalin dari para Pemimpin Gereja permulaan, hampir empatribu naskah berbahasa Yunani dari Perjanjian Baru diketahui masih tetap ada.  Karenanya, berbagai variasi bacaan tersebut masih bisa dipertimbangkan”.

Kepercayaan apa yang dapat diterapkan dari dokumen-dokumen yang peralihan dan tambahan-tambahan serta perobahannya begitu sembarangan ditulis oleh para penyalinnya? Bahkan penulisannya maupun tanggal penulisannya pun sungguh tak diketahui. Injil Kanonik pertama dipermaklumkan sebagai Injil menurut Matius, seorang Pengikut Yesus. Tapi Injil tersebut sungguh tak pernah ditulis olehnya. Itu ditulis oleh tangan seseorang yang tak diketahui. Kisah penulisan Injil tersebut diterangkan oleh komentatornya, seperti saya kutip di atas, mungkin St. Matius menulisnya dalam bahasa Yunani berupa kitab “logia” (bahasa sehari-hari) atau “oracles” (bahasa lisan) yang tidak bisa dijumpai di mana pun, kecuali tulisan Papias pada tahun 130 Masehi yang meminjam nama Matius dengan susunan kitab seperti itu.

“Terjemahan bahasa Yunaninya dari “Logia” tersebut penulis kita itu rupanya menggunakannya sebebas mungkin, dia mengakukan tugasnya itu dari murid Yesus dengan menyebutnya sebagai karya “menurut Matius”. 


Penjelasan di atas berbicara sendiri. Matius mungkin menulis suatu buku yang tidak ditemukan di mana pun kecuali dalam referensi Papias. Lainnya tetap membingungkan. Tidak sedikit bukti bahwa penulis Injil pertama yang tak dikenal itu memiliki salinan kitab itu dari terjemahan bahasa Yunani, atau mungkin pula dia menggunakan itu semaunya saja. Kebingungan itu sebenarnya sederhana sekali bahwa Injil tersebut disebut saja Injil menurut St Matius, tapi mungkin pula dia hanya menggunakan bahasa lisan saja dari St Matius tadi.
 
Injil berikutnya adalah St. Markus, yaitu seorang sahabat Petrus, dan kesaksian di bawah ini sebagaimana dicatat oleh Papias kuranglebih tahun ke 130 Masehi yang ia hanya bertumpu kepada penjelasan penulis Injil tersebut:


“Markus menjadi (atau dijadikan) penafsir Petrus yang menulis semua apa yang ia ingat (atau, segala apa yang diceritakan oleh Petrus) meskipun dia tak pernah (mencatat) apa yang telah dikatakan oleh Kristus. Karena ia tak pernah mendengar Tuhan, tidak pula pernah mengikuti-Nya; namun sesudahnya, sebagaimana saya katakan, (melibatkan dirinya) kepada Petrus yang menggunakan bentuk ajarannya untuk menemui (secara mendadak) keinginan (para pendengarnya); dan cerita itu tidak ada hubungannya dari sumber Tuhan.

Bahkan jika kita terima bukti ini, Injil St. Markus bisa dikatakan hanya berdasarkan tradisi omongan Petrus belaka, bahkan meskipun bukti itu meragukan bahwa Injil yang ada di tangan kita sekarang benar-benar ditulis oleh Markus, kritik keras tersebut memandang bahwa ia hanya penulis pokok-pokok Injil yang ada sekarang yang disebutkan berasal dari dia.

St. Lukas juga bukan murid Yesus tapi ia hanya pengikut muridnya Yesus dan ia dikatakan ikut Paulus. Dan mengenai Injil yang empat itu, tidak diragukan belakangan banyak sekali ditambah-tambah. Mengenai penanggalan berbagai Injil itu, gambaran yang bisa diterima mengenai tiga Injil pertama semua itu ditulis kurang lebih tahun 70 Masehi, namun para pengeritik ulung mengatakannya jauh lebih belakangan, dan bukti internal menjadi alasan terhadap kesimpulan ini. Dalam membicarakan Injil kanoniknya Matius kita diberitahu bahwa “banyak sekali pemberian tanggal seluruh Injil tersebut di akhir tahun 130 Masehi”. Penanggalan yang terdini bisa diakui bila banyak kutipan-kutipan utama dianggap sebagai interpolasi atau sisipan belakangan. Mengenai penanggalan Injil Lukas kesimpulannya menyebutkan tahun 100 Masehi, ini lebih bisa diterima, dan beberapa keterangan menyatakan bahwa batas tanggal penyusunannya kurang lebih tahun 110. 


Pertimbangan terhadap penulisan, penanggalan dan peralihan Injil-Injil tersebut, sebagian besar naskah, bacaan dan keberadaannya tidak bisa dipungkiri banyak sekali tambahan yang sudah tentu ini bisa mengurangi nilai; dan karena inilah kritik terhadap semua Injil tersebut, seperti dikemukakan di dalam Encyclopaedia Biblica, Pendeta E.A.
 
Abbot mengajukan pertanyaan yang sangat penting:

“Membiarkan bagian-bagian seringkali dapat menimbulkan keraguan yang unsurnya banyak sekali di seluruh Injil”.

Jawaban terhadap pertanyaan yang ada di seluruh Injil, lima kutipan di bawah ini mungkin bisa dianggap dapat dipercaya.

  1. Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus menolak disebut orang tidak berdosa:
    “Mengapa engkau mengatakan aku baik? Tidak ada yang baik kecuali satu, yakni Tuhan” (Markus 10:18)
     

  2. Kutipan yang menunjukkan bahwa orang yang mengutuk beliau diampuni:
    “Semua perkara dosa dan kutukan akan diampuni; tapi kutukan terhadap Ruhul Kudus tidak akan diampuni” (Matius 12:31)
     

  3. Kutipan yang menunjukkan bahwa ibunya sendiri dan saudara-saudaranya tidak mengimaninya dan mereka secara tulus berpikir bahwa ia gila: Dan ketika teman-temannya mendengar itu, mereka keluar untuk mengambil dia, karena mereka berkata, Dia sudah tidak waras lagi” (Markus 3:21). Pada ayat 31 kawan-kawan yang muncul itu adalah ibunya sendiri serta saudara-saudaranya.
     

  4. Kutipan yang menunjukkan bahwa Yesus Kristus tidak mengetahui barang gaib:
    “Pada hari dan saat itu seorang pun tidak ada yang tahu, sekalipun para malaikat di langit, tidak juga anak kecuali Bapak”.
     
  5. Kutipan yang menunjukkan teriakan rasa putus asa yang dia ucapkan di atas kayu salib: “Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau tinggalkan daku”. 
Terhadap yang lima ini ditambah empat lainnya yang meliputi berbagai mu’jizatnya yang akan dibicarakan dalam bab mu’jizat di belakang, dan sembilan kutipan tersebut, ini dikatakan “soko-guru bagi ilmiahnya kehidupan Yesus yang sesungguhnya”.

Akan terlihat bahwa ajaran dasar Kristen terletak pada catatan-catatan yang tak bisa diterima, dan kisah mu’jizat yang ditempa dan dilakukan secara aneh, itu berdasarkan doktrin Keilahian Yesus Kristus dan keunggulannya dari semua manusia, karenanya perkara ini hanya bisa diterima dengan penuh kehati-hatian yang luar biasa. Bagaimanapun pasti terpikir bahwa jika hanya mengandalkan keunggulan Yesus Kristus sebagai manusia biasa yang bisa melebihi manusia lainnya, demikian sabda Pendiri Suci Islam, sudah tentu tidak membuat kita lebih dekat sedikit pun kepada kebenaran agama Kristen hingga ia dapat menunjukkan bahwa ia memiliki sifat keIlahian atau dia melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa. Jika agama Kristen mengikuti prinsip yang diletakkan oleh para Nabi terdahulu, pernyataan bahwa Yesus Kristus manusia yang paling utama dari manusia lainnya yang pernah hidup, pasti akan melakukan sesuatu yang baik terhadap kaum Kristen, namun sejauh doktrin penebusan dosa manusia oleh pribadi Tuhan seperti itu masih tetap menjadi doktrin utama agama tersebut, maka tak kurang bukti bahwa kelebihannya dari manusia lain terletak dalam keilahiannya dan kelebihannya di atas sekalian manusia dapat menjadi penyebab utamanya. Di dalam hal inilah gunanya membicarakan hubungan antara agama Kristen dan Islam, atau hubungan yang bertalian dengan keutamaan para pendirinya, maka ini bisa jadi membantu para pencari kebenaran. Tapi pertentangan yang terdapat di dalam Kristen itu sendiri tidak bisa mengatasi masalah ini. Saya akan mengemukakan berbagai masalah seperti yang dipertentangkan oleh kaum Kristen itu sendiri. Saya mengambil permasalahan Kristen sebagaimana yang disajikan di dalam selebaran-selebaran terakhirnya, sedikit menyinggung risalah agama yang disampaikan oleh para Missionaris Kristen di Ludhiana, India, di bawah judul Haqa’iq-I Qur’an, atau “Hakikat Qur’an” yang diakukan berdasarkan hanya dari “pernyataan Qur’an saja” yang telah diedarkan dan disiarkan di India, dan melalui lembaran-lembaran Dunia Muslim, di seluruh negeri-negeri Kristen maupun negeri Muslim.

No comments:

Post a Comment

tinggalkan komentar dan nama anda